Chapter 14

63 22 20
                                    

Kesabaran memang tidak ada batasnya. Tetapi seringkali, manusia yang membatasinya sendiri.

---

Duduk di bangku kelasnya, Ajeng sama sekali tak memudarkan senyuman. Persetan jika pandangan murid lain yang menganggapnya aneh, ia tidak perduli. Hari ini, Ajeng sangat bahagia.

Ia belum membeberkan kebahagiannya kepada Juvita. Gadis itu nampak fokus mencatat apa-apa saja yang tertinggal saat tertinggal pelajaran tadi. Buku milik siapa lagi yang dijadikan bahan contekan jika bukan milik Ajeng.

"Selesai!" Juvita mengangkat kedua tangannya ke udara, lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal karena terlalu lama menulis.

"Gila, tanganku pegel banget! Kalau gini, lama-lama bisa copot," keluh Juvita. Ia menaruhkan kepala di atas meja, sorot matanya menatap Ajeng yang saat ini pun melakukan hal yang sama--menatapnya.

"Cie ... kenapa senyum-senyum dari tadi? Sepertinya ada roman-roman anu." Juvita tertawa kecil, senang menggoda Ajeng. Padahal, yang ada di pikiran Juvita seratus persen salah.

Ajeng memukul ringan lengan Juvita, ia tahu maksud dari ucapan gadis itu tadi. "Apaan, sih. Bukan. Pengen tau nggak, kenapa aku seneng banget?" Ajeng menawarkan.

Juvita menggeleng, walaupun pergerakannya tak bebas, tetapi sangat kentara jelas. "Udah tau. Kamu pdkt sama cowok, ya? Hayo ...."

"Sekali lagi kamu ngomong kayak gitu, siap-siap aja ulangan matematika nanti remedial." Ajeng mengancam. Ia bersedekap dada, menaik turunkan alisnya menggoda.

Juvita mendengkus. Ia membangkitkan kepala, lalu bersandar di kursinya. "Apaan, ngancem," desahnya.

Ajeng tertawa, melihat ekspresi melas yang ditunjukkan Juvita. Padahal, niatnya berbicara begitu hanya sekedar bercanda. Namun, Juvita menganggapnya serius. Lucu sekali.

Ajeng memajukan wajahnya, mendekatkan bibir ke telinga Juvita. "Aku masuk seleksi," bisiknya.

"Jinjja? Woah, daebak!" Juvita bertepuk tangan sangat kencang, mata Ajeng melotot memberi kode agar Juvita tak mengeraskan suara.

"Iya, maaf." Juvita menutup mulut menggunakan tangan, merasa bersalah.

"Tapi aku deg-degan." Ajeng risau, ia mengerucutkan bibirnya. "Menurutmu, aku bisa kepilih, nggak?" Ia meminta pendapat.

"Harus optimis, dong! Aku yakin, kamu pasti bisa jadi Ketua OSIS tahun ini, Jeng. Kak Agil aja udah dukung kamu, berarti dia yakin kalo kamu bakal jadi penerusnya," papar Juvita dengan binar mata cerah, menyiratkan kebahagiaan.

Ajeng menipiskan bibir. Apa yang dikatakan Juvita benar, tetapi ia ragu karena posisi yang ditempatinya. Ia tahu, banyak yang tak suka dirinya mengenai penampilan, bukankah itu mempengaruhi voting nantinya? Padahal, pagi tadi ia sudah semangat dan optimis, tetapi sekarang rasa insecure muncul kembali.

"Tenang, aku bakal jadi tim sukses kamu! Nih, ya, aku ada banyak kenalan di kelas-kelas lain. Aku bakal promosiin kamu, Jeng. Selagi ada Juvita, semua aman." Juvita membusungkan dadanya, berlagak membanggakan diri.

Memang, hanya Juvita--seorang teman yang benar-benar mendukungnya. Ketika Ajeng susah, Juvita ada. Ketika Ajeng senang, Juvita pun ada. Ia kesulitan membalas kebaikan gadis di sampingnya itu.

"Kamu pasti bakal bilang aku baik banget, kan? Terus juga, kamu bakal bilang nggak tau harus bales kebaikan aku gimana, kan?" Juvita tahu, ia melihat raut wajah Ajeng yang gelisah dan bimbang.

Ajeng menatap manik mata Juvita, dia memang sangat pandai membaca raut wajah seseorang. Bahkan, kalimat yang biasa ia ucapkan pun Juvita menghapalnya.

When You Love Yourself (Tamat)Where stories live. Discover now