Chapter 16

66 18 10
                                    

Menduga-duga sesuatu lebih baik dihindari, karena pada dasarnya tidak ada yang mengetahui apa yang telah direncanakan oleh Ilahi.
——————————————


Napasnya berhembus gusar, tatapan mata ke arah cermin di depannya pun tersirat kesenduan. Kedua tangan diletakkan di atas meja, kepalanya bertumpu di sana. Hari sudah malam, tetapi jendela kamar Ajeng masih terbuka, menyebabkan semilir angin menerpa kulitnya.

Pikirannya berpusat pada satu titik, yaitu tentang kejadian yang ia alami siang tadi. Ketika telinga mendengar sesuatu yang amat membuat dirinya tertegun. Lantas, berpuluh-puluh pertanyaan melintas di otaknya, meminta untuk segera dilontarkan.

"Kenapa dia ngomong kayak gitu, ya." Ajeng bermonolog. "Pasti ada sebabnya, tapi apa?" tambahnya lagi.

Ajeng berdecak, pemuda itu berhasil membuat otaknya dipenuhi tanda tanya. Rumit sekali, apakah Daniel mempunyai sebuah rahasia?

"Lo pengen tau, kenapa gue semena-mena sama perempuan?"

Ajeng meneguk ludah, Daniel berbicara sangat frontal. Seolah sangat bersungguh-sungguh dengan apa yang dilakukan, apa Daniel memiliki maksud terselubung di balik itu?

Ajeng menganggukan kepala, ia amat ingin tahu yang sebenarnya.

Daniel menyeringai sekilas. "Karena gue benci perempuan. Gue benci! Gue ngelakuin itu semua ... cuma buat balas dendam. Itu kan, yang lo pengen tau? Puas?" Suara pemuda itu semakin meninggi, seperti memberi sebuah penegasan.

Daniel berjalan menjauh setelah mengatakan kalimat itu, sedangkan Ajeng tetap berdiri dan mematung di tempat. Seolah mencerna kata demi kata yang terlontar, meyakinkan bahwa pendengarannya ada yang tidak benar.

"Maksud kamu apa?" Ajeng membawa langkahnya sedikit lebih cepat--mengejar Daniel yang berjalan semakin menjauh.

"Gue benci perempuan, gue benci lo!" Daniel berlari menuju tepi jalan, tangannya melambai, menghentikan sebuah kendaraan lalu memasukinya.

"Daniel emang keterlaluan! Aku udah bicara panjang lebar, tapi sama sekali enggak didenger." Ajeng meracau, raut wajahnya menyiratkan kekesalan, tentunya oleh kejadian tadi siang.

"Dia sinting apa, ya. Kalo bukan dari rahim perempuan, dari mana dia bisa mbrojol ke dunia?" Ajeng melirihkan suara, mendadak merasakan emosi yang mulai menjalar.

Tiba-tiba, pikirannya tertuju pada Luna. Apa kabar gadis itu? Juvita belum memberitahu bagaimana keadaan Luna setelah pulang tadi. Walaupun begitu, Ajeng yakin gadis itu sedang tidak baik-baik saja.

"Besok aku harus temuin Luna."

Korden yang menutupi pintu kamar Ajeng disibak, Pramesti pelakunya. Mengingat malam telah larut, tetapi puterinya belum juga mengistirahatkan tubuhnya. Pramesti khawatir.

"Kenapa belum tidur?" Pramesti bertanya, posisi wanita paruh baya itu masih berada di ambang pintu.

Tatapan matanya beralih ke arah jendela yang masih terbuka, Pramesti melangkah mendekat ke sana--menutupnya.

"Belum ngantuk," jawab Ajeng.

"Jangan dibiasakan begadang, enggak baik."

Ajeng menggaruk tengkuk, padahal tidak sering. Namun, ibunya mengunjungi kamarnya malam ini, seakan berperspektif bahwa ia sering begadang.

"Ibu ..., aku mau nanya." Ajeng bersuara kembali.

Mendengar pinta puterinya, Pramesti melangkah mendekat, mendudukan bokong di tepi ranjang yang lusuh. Ajeng pun sama, beranjak dari kursi lalu berpindah di mana sang ibu berada.

"Ayah pernah pukul Ibu? Atau ... berbuat kasar sama Ibu?" tanya Ajeng dengan hati-hati.

Pramesti tersenyum, kemudian menggeleng kecil. "Enggak. Ayahmu sangat lembut, sama sekali nggak pernah main fisik. Ibu beruntung dapat ayahmu."

Ajeng tertular senyum ibunya, ia manggut-manggut. Memang, sih, selama Ajeng berada di rumah tak pernah melihat jika ayahnya berperilaku kasar. Namun, siapa yang tahu? Ia hanya cemas, mengingat kalimat yang dilontarkan Daniel padanya.

Ia berpikiran, apakah semua laki-laki begitu?

"Kenapa kok tanya begitu? Kan kamu juga tau ayahmu seperti apa." Pramesti terheran.

Ajeng menggeleng kecil, tidak ingin berbagi cerita tentang apa yang ia alami. Namun, ketika Ajeng menyudahi gelengan itu, senyuman Pramesti setengah memudar.

"Jangan ikut campur urusan orang lain, ya. Tugasmu belajar aja, banggakan ibu dengan prestasi. Ingat, prestasi."

***

"Maaf ya, rumah aku emang kecil. Aku juga cuma bisa kasih air putih." Luna tersenyum kikuk, sembari menaruh nampan yang ia gunakan untuk membawa dua gelas berisi air putih tadi.

"Enggak apa, Lun," kata Ajeng. "Makasih," imbuhnya.

Ajeng mengambil gelas berisi air putih yang berada di atas meja, lalu menegaknya hingga tersisa setengah. Sebelum sampai ke rumah Luna, Ajeng lebih dulu menghampiri Juvita, karena sahabatnya itulah yang mengetahui tempat tinggal Luna. Jadilah, Juvita ikut serta.

"Oh, ya, makasih untuk kemarin." Luna berucap pilu.

"Lun ..., aku tau kamu lagi nggak baik-baik aja." Ajeng mendekat, tangannya mengarah ke punggung gadis itu, mengusapnya perlahan--menyalurkan ketenangan.

Juvita berdiam di tempatnya duduk, mengamati raut wajah Luna yang menyiratkan kepedihan terpendam. Meskipun ia baru saja mengenal Luna, tetapi apa yang gadis itu rasakan bisa tersalurkan kepadanya.

"Apa selamanya aku bakal terus dapat perlakuan kasar, Jeng? Aku enggak berbuat apa-apa pun selalu dianggap salah, apalagi kalau sampai aku buat suatu kesalahan." Luna untuk kedua kalinya memeluk Ajeng dengan erat, berusaha berbagi beban yang ia rasakan--berharap nantinya akan sedikit berkurang.

Ajeng menghela napas, hatinya kembali tersayat ketika mendengar kalimat yang dilontarkan Luna dengan suara bergetar.

"Aku benci diriku sendiri." Luna meracau.

Pelukan itu diurai oleh Ajeng, matanya menelusup ke manik Luna. "Benci dengan diri sendiri enggak akan membuat suatu perubahan, Lun."

"Bener kata Ajeng, Lun. Kamu seharusnya enggak terpengaruh sama mereka, buat apa diladeni kalau cuma buat down? Nggak penting." Juvita berdecih, ikut emosi.

"Semenjak penolakan Daniel, aku sering dibuli. Tapi aku nggak bisa apa-apa." Luna memaparkan. "Aku takut ...," imbuhnya.

"Tenang, Lun! Sebentar lagi pemilihan OSIS, aku yakin Ajeng bakal jadi peraih suara terbanyak! Habis itu, enggak akan ada lagi yang namanya bullying di SMA Lentera!" seru Juvita, tangannya mengepal dan diangkat ke atas. Senyumnya begitu lebar, sampai deretan gigi putihnya kelihatan. Juvita sangat bersemangat.

"Bener nggak, Jeng, apa yang aku bilang barusan?"

Ajeng mengakui, ia begitu memimpikan hal itu terwujud. Namun, apakah ia benar-benar akan terpilih? Apakah ia benar-benar bisa mewujudkan apa yang telah menjadi tujuannya? Lagi-lagi pikiran itu kembali menyerang, Ajeng berusaha untuk tak memperlihatkan kegelisahannya.

Ketika Ajeng ingin kembali membuka mulut untuk berbicara, terdengar suara seseorang yang terbatuk-batuk. Keningnya mengernyit, ia menatap Luna yang berada di sampingnya.

"Itu Ayah. Sebentar, ya, aku tinggal dulu." Luna bergegas beranjak dari duduk, lalu melenggang pergi ke dari hadapan Ajeng juga Juvita.

Juvita menyenggol lengan Ajeng. "Kayaknya ayahnya Luna lagi sakit. Tapi, ibunya ke mana, ya?" tanya Juvita.

"Pikiranku juga begitu. Mungkin ibunya lagi ke luar, ada urusan." Ajeng menjawab, tangannya terulur mengambil gelas miliknya.

Juvita manggut-manggut, ia mengeluarkan ponselnya, lalu membuka aplikasi yang memiliki simbol gagang telepon berwarna hijau. Untuk apa lagi jika bukan bertukar pesan dengan Agil--pacarnya.

Berbeda dengan Ajeng yang sedang bergelut dengan pikiran, menyatukan teka-teki yang menurutnya perlu diselesaikan. Memang, semua berkaitan.

Nggak salah lagi, yang kemarin aku lihat itu benar Luna.
_________

When You Love Yourself (Tamat)Where stories live. Discover now