Chapter 7

84 21 42
                                    

Hubungan yang awalnya harmonis, lalu dirundung suatu konflik, akan baik-baik saja jika ditanggapi dengan cara yang bijak dan benar pula.
________

"Pantesan kalo gue lewat sini, bawaannya merinding terus. Ternyata, ada hantunya."

Ajeng sedikit bertanya-tanya dalam hati, mengapa ada pemuda itu di sini? Apa dia mengikutinya? Namun, tidak mungkin itu terjadi. Apa pun alasannya, Ajeng tidak peduli.

Ia mengambil langkah ke samping, agar bisa melewati jalan dan tidak terhalangi oleh pemuda itu. Namun, langkahnya selalu sengaja dihalangi. Ajeng berdecak, rasanya kesal dan ingin marah. Sebenarnya, mau pemuda itu apa, sih?

Ajeng sedang tak ingin berdebat hari ini, tapi pemuda di depannya seolah memancing emosinya. Ajeng menghela napas, lalu berucap, "Maumu apa, sih?"

Daniel terkekeh kecil, tangannya ia silangkan di depan dada. Raut wajahnya tak beda dari yang kemarin-kemarin, songong dan menyebalkan bagi Ajeng.

"Sebelum gue jawab pertanyaan lo, lo harus jawab dulu pertanyaan gue," ucap Daniel, "ngapain lo di sini? Abis pesugihan lo?" imbuhnya.

"Kalo aku kasih tau, apa peduli kamu?" Ajeng tak menjawab pertanyaan Daniel, tetapi malah membalikkan tanya yang berbeda.

Daniel berdecih, ia meludah ke arah samping kiri. Seolah-olah melihat Ajeng seperti melihat Anjing yang menajiskan. Lagipula, benar juga. Untuk apa Daniel peduli, ia hanya mengikuti perintah otaknya.

"Oh ... berarti bener. Lo abis pesugihan. Kurang duit? Butuh duit berapa sih, miris banget." Cibiran dari Daniel benar-benar kelewatan, terkesan menuduh dan merendahkan. Ajeng ingin melawan dengan cara tegas, tetapi hari ini ia benar-benar malas.

"Kata-kata dan sikap kamu itu yang miris. Kayak enggak pernah dididik sopan santun." Ajeng menanggapi santai, tak ada penekanan. Ia berkacak pinggang, seraya menatap Daniel tanpa teralihkan.

Daniel terdiam. Meski begitu, tatapannya masih tajam ke arah manik mata Ajeng. Keadaan berubah hening, padahal Ajeng masih menunggu kalimat cibiran yang akan dilontarkan Daniel selanjutnya. Namun, apa ini? Pemuda itu berjalan mundur dan berlalu dari pandangannya.

"Lah, tumben dia nggak lawan. Apa jangan-jangan bener, di sini ada hantunya? Terus dia kesurupan?" Mendadak, bulu kuduk Ajeng berdiri, hawanya berubah menjadi dingin. Ajeng bergidik, lalu ikut berlari meninggalkan taman yang tak berpenghuni.

Ajeng memberhentikan langkah kala mendengar suara rintihan dari arah kamar mandi yang ia lewati. Rasa penasaran melanda dirinya, ia pun berjalan mendekat ke dinding kamar mandi itu.

Ajeng tiba-tiba kembali merinding, tapi ... mana ada hantu siang-siang buta seperti ini? Dari rintihan itu, terdengar seperti suara seorang gadis. Beberapa pertanyaan mulai tumbuh di benaknya.

"Gue benci jadi cantik! Semua orang menilai gue selalu dari fisik, kapan kemampuan gue dilihat? Gue benci diatur, gue benci dipaksa, gue benci diri gue sendiri!"

Ajeng menutup mulut dengan tangan kanannya, kedua telinga masih berfungsi mendengarkan kalimat yang dilontarkan gadis dalam kamar mandi itu. Benci karena dirinya cantik?

"Dia siapa, ya? Kalau aku masuk, kesannya lancang karena udah nguping." Ajeng bimbang.

"Siapapun kamu, semoga aku bisa buat kamu untuk nggak lagi benci diri sendiri dan mencoba love yourself."

***

Malam harinya, suasana makan malam di rumah Ajeng sangat damai. Cukup sederhana, tak ada yang istimewa. Lauk pauk seadanya, duduk bertiga, dunia serasa milik mereka.

When You Love Yourself (Tamat)Where stories live. Discover now