6

6.1K 538 32
                                    

" Tiga tahun yang lalu, setelah saya memberi tahu Melati tentang kita."

"Melati. Dia tau."

"Ya." Gandi mengangguk mantap.

Rasa bersalah tiba-tiba mendera Amira. Seharusnya dia tidak menyalahkan Gandi. Tidak pantas dia marah di sini. Dirinya lah yang memaksa agar Gandi menikahinya walau saat itu Gandi sudah mengaku telah memiliki kekasih. Pantas saja jika Gandi mengacuhkan keberadaannya.
Amira memijat pangkal hidungnya. Dia baru sadar, dirinya yang memulai semua ini.

Tiba-tiba Amira mengerinyit kan keningnya saat mengingat pertemuannya dengan Gandi di rumah sakit tadi siang, mereka terlihat seperti keluarga bahagia. Seperti tidak ada masalah.

"Apa dia marah?" Tanya Amira penasaran.

Gandi mengangguk "Ya."
"Dia marah besar." Jawab Gandi menunduk mengingat kejadian itu.

"Saya akui Amira. Saya bukan suami yang bertanggung jawab, terutama untuk mu." Lanjut Gandi.

Amira menatap Gandi dalam diam.

"Saya terlena, tidak lama setelah kembali ke Jakarta. Saya menikahi Melati. Kehidupan yang saya impikan setelah menikahi Melati terwujud. Sampai Melati hamil dan melahirkan. Saya begitu bahagia. Sampai-sampai tidak ada niat untuk menemui mu lagi. Setiap bulan saya mengirimi kamu uang. Tapi saya menganggap itu hanya sekedar kewajiban saya memberikan kamu nafkah. Saya lupa, sebagai seorang suami wajib menafkahi istri baik secara lahir maupun batin. Dan bagi saya saat itu, dengan mengirimi kamu uang itu sudah cukup."

Hati Amira begitu sakit mendengar penjelasan Gandi.

"Tahun demi tahun berlalu, sampai saya bermimpi di datangi almarhum Kakek."

"Kakek." Cicit Amira.

Gandi mengangguk.

"Kakek tidak berbicara. Di dalam mimpi itu kakek manatap marah pada saya. Sebelum terbangun saya sempat melihat air di sudut matanya." Jelas Gandi dengan mata memerah. Berbeda dengan Amira yang sudah terisak mendengarnya. Dari dulu Amira sayang sekali pada Kakek. Amira merasa karena dirinya kakek menjadi tidak tenang di alam sana.

Melihat Amira terisak Gandi pun berhenti bercerita. Memilih menunggu Amira tenang dulu. Gandi bahkan tidak peduli lagi saat menyadari pengunjung yang datang ke cafe ini banyak melirik ke arah mereka.

"Rasanya hidup saya tidak pernah tenang lagi semenjak mimpi itu. Saya ingin mengunjungi kamu, tetapi di lain sisi saya juga mau jujur dan berterus terang dulu pada Melati. Melati marah besar, merasa di bohongi. Tetapi akhirnya dia memaafkan saya setelah berhari-hari dan menyetujui saya untuk menemui kamu." Lanjut Gandi setelah melihat Amira telah tenang.

"Apa Melati membenci ku? Apa saat itu dia meminta mas menemuiku untuk menyelesaikan hubungan kita?"

Gandi menggeleng.
"Dia tidak akan meminta itu meski hatinya terluka. Saya saja yang tidak tau diri, karena telah menyakiti dua wanita."

Malam gays. Aku mau minta komentar dan vote kalian ya sebagai penyemangat untuk melanjutkan cerita ini.




Seorang IstriDonde viven las historias. Descúbrelo ahora