5

5.8K 542 12
                                    

Jantung Amira berdebar kencang saat melihat keberadaan Gandi di lobby rumah sakit.
Ada apa ini? Bukannya tadi dia telah pulang bersama istrinya? Ucap hati Amira. Amira mengecek pergelangan tangannya, pukul 18.00. Amira bingung, haruskah dia menyapa atau berlalu saja seolah tak pernah mengenal. Tapi ada urusan apa pria itu di sini?

Amira meneruskan langkahnya seolah tidak melihat Gandi. Entah kenapa waktu terasa begitu lama, ingin rasanya Amira berlari agar cepat meninggalkan gedung rumah sakit ini.

Tapi itu sama saja memancing perhatian Gandi tertuju ke arahnya. Amira menghela nafas lega saat berhasil melalui tempat dimana Gandi sedang bersandar sambil memainkan ponselnya.

"Amira."

Amira menahan nafas saking gugupnya. Saat Amira membalikkan tubuh nya. Ternyata gandi sedang memasukan ponsel ke kantong celana jeans yang dia kenakan sambil berjalan menuju Amira.

"Bisa minta waktunya?"

"Sebentar saja, banyak yang harus kita bicarakan." Lanjut Gandi.

"Sudah masuk waktu solat magrib. Bisa menunggu sebentar?"

"Bisa. Saya juga belum solat." Ucap Gandi dan mengikuti langkah Amira menuju Musolla.

Gandi membawa Amira ke cafe yang terletak di depan gedung rumah sakit. Saat pelayan pergi sesudah mencatat pesanan mereka, suasana mendadak hening. Gandi memilih meja yang terletak di lantai dua.

Gandi  melirik sesekali pada Amira yang melamun memandang kendaraan yang berlalu lalang di depan gedung rumah sakit.

Amira cuma menghabiskan separoh dari nasi goreng yang dia pesan. Itupun tadi dipaksakan. Lagian siapa juga yang bisa makan dengan lahap dengan situasi begini. Begitupun Gandi, melihat Amira menyudahi makan nya Gandi pun meletakan sendok nya.

"Sejak kapan pindah ke sini?"

Amira mengangkat kepalanya menoleh mendengar pertanyaan Gandi.

"Sudah lebih tiga tahun."

"Uang yang saya krim setiap bulan apa kamu selalu pergunakan?"

Mata Amira berubah dingin menatap Gandi. Lalu menggelengkan kepalanya.
"Besok datang saja lagi aku kembali kan."

Gandi kaget dengan jawaban dan respon Amira, lagian bukan itu maksudnya.

"Saya tidak pernah berniat meminta kembali. Lagian itu hak kamu, kenapa tidak di pergunakan?" Jelas Gandi.

"Buat apa mas? Aku gak pernah minta."

"Ya, tapi itu kewajiban saya Amira."

"Kewajiban sebagai apa? SUAMI?" Bentak Amira membuat seluruh mata tertuju pada mereka.

"Pelan kan suara kamu Amira." Pinta Gandi pelan. Tapi sepertinya Amira tidak peduli.

"Kamu pikir aku senang karena kamu menafkahi ku setiap bulan nya? Tidak mas, apa susah sekali meluangkan waktu mu sehari saja untuk menemuiku? Hanya untuk menjatuhi talak mas. Hanya itu yang aku nanti selama ini." Ucap Amira dengan suara parau dan memghapus air di sudut matanya.

"Maaf." Ucap Gandi memejamkan matanya karena melihat air yang jatuh di sudut mata Amira.

"Maaf." Amira terkekeh. "Dari awal aku sudah bilang, aku tidak menuntut apapun. Tapi bukan berarti kamu senaknya meninggalkan ku tanpa kepastian. Apa aku segitu tidak berharganya mas?"

"Saya menemui kamu
Amira. Tapi saya terlambat, kata orang-orang di sana kamu sudah pergi dan rumah kakek sudah lama kosong."

Amira menghapus air mata nya saat mendengar pernyataan Gandi.
"Kapan?"

" Tiga tahun yang lalu, setelah saya memberi tahu Melati tentang kita."


Terimakasih atas vote dan komentarnya gays.









Seorang IstriWhere stories live. Discover now