7

8.7K 598 87
                                    

Setelah perbincangan kami tadi sekarang kami berada di dalam mobil yang di kendarai sendiri oleh mas Gandi. Aku tidak tau dia akan membawa mobil ini ke daerah mana karena sudah lebih dari tiga puluh menit tetapi tidak ada tanda-tanda mobil ini akan berhenti. Yang aku tau mas Gandi akan membawa ku menemui seseorang yang lebih mengerti agama dari kami berdua. Yap aku tidak mau menunda lagi. Aku ingin status yang jelas agar aku tau bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku nanti. Tapi mas Gandi malah ingin kami menemui seseorang ustadz yang dia kenal untuk menanyai jalan keluar dari masalah kami.

Pesantren Al Ihsan, aku membaca palang besar diimana mas Gandi menghentikan mobilnya.

"Ayo turun." Ajak nya setelah membuka seatbel milik nya.

"Kalau kamu sendiri yang masuk gimana mas?"

Mas Gandi memandang ku sambil menaiki salah satu alis nya.

"Kenapa? Ini saya ingin menanyakan masalah kita. Bukannya lebih bagus jika kamu ikut juga."

"Gak enak mas. Aku masih pakai seragam kerja dan tidak memakai hijab." Jawab ku tapi dia malah terkekeh.

"Kita tidak masuk mesjid Amira hanya bertamu ke rumah ustadz Adam di rumahnya. Lagian tidak ada ketentuan jika bertamu ke rumah nya harus memakai hijab dulu."

"Tapi rumah nya berada di lingkungan pesantren. Pasti semua memakai hijab."

"Tidak apa-apa. Lagian kita cuma sebentar. Ayo." Ujar nya langsung membuka pintu dan keluar tanpa menunggu jawaban ku. Dengan terpaksa aku pun harus mengikutinya.

Kami berjalan menuju rumah ustadz Adam kenalan mas Gandi dengan beriringan. Untung saja   hari sudah malam dan lingkungan pesantren ini sudah sepi. Kami sampai di sini pukul 20.30 malam. Sebenarnya ada rasa tidak enak bertamu di jam seperti ini.

Kami aku, mas Gandi dan ustadz Adam yang tadi aku kira sudah tua ternyata masih muda dan sepertinya hanya tua beberapa tahun saja dari mas Gandi.

Mas Gandi menceritakan semu kisah kami dari awal kehendak kakek yang menginginkan kami menikah. Tidak ada yang di tutupi sedikitpun termasuk bagian dimana aku meminta nya menikahi dengan ku. Aku tidak marah walau ada sedikit rasa malu mengingat bagaimana aku memintanya menikah dengan ku dulu. Aku belum mengeluarkan suara, hanya diam sambil mendengarkan mereka.

"Astagfirullahalazim."

Aku menoleh saat ustadz Adam beristighfar setelah mendengar cerita dari mas Gandi.

"Jadi bagaimana dengan status saya ustadz?" Utadz Adam dan Mas Gandi langsung menoleh kepadaku.

"Di dalam pernikahan seorang suami wajib menafkahi istrinya secara lahir maupun batin. Mendengar cerita dari pak Gandi tadi, nafkah batin Bu Amira memang telah di abaikan  selama bertahun-tahun, dan jelas itu dosa besar."

Aku melirik mas Gandi yang menghela nafas gusar.

"Tapi saya selalu mengirim uang tiap bulannya usatadz. Ya meski tidak pernah di pergunakan oleh Amira." Kali ini mas Gandi yang bersauara.

"Nah itu lah letak masalah nya. Jika seorang suami berpisah selama tiga bulan saja dengan tidak adanya kejelasan maka pastilah kalian resmi bercerai. Tetapi pak Gandi selalu memberi nafkah lahir kepada buk Amira. Dan menurut pengetahuan saya kalian masih sah sebagai suami istri. Tapi ada bagusnya jika kalian mengulang kembali ijab kabul agar memperjelas lagi hubungan kalian. Dan buk Amira dan pak Gandi juga tidak akan ragu lagi dengan status kalian sebenarnya. Karena saya tau, walau saya mengatakan pernikahan ini masih sah tetapi masih ada yang mengganjal di pikiran kalian."

Aku melirik mas Gandi yang ternyata juga sedang melirik ke arah ku.

"Mas bagaimana ustadz Adam saja yang menjadi saksi saat kamu menjatuhkan talak pada ku?" Tanya ku pada nya.

"Allah sangat membenci perceraian walau memperbolehkan nya. Lagian kalian baru bertemu bukan kah lebih baik jika berusaha mempertahankan nya."Seru  ustadz Adam.

Mas Gandi belum bersuara masih diam membuatku jadi bingung.

"Ustadz benar. Tetapi saya tidak mau menyakiti seseorang lebih dalam lagi jika pernikahan ini terus berlanjut." Ucapku.

"Kalau boleh saya tau. Siapa yang tersakiti jika kalian memutuskan untuk bersama lagi?"

Aku jadi bingung mendengar pertanyaan ustadz Adam. Bukankah dia sudah lama mengenal mas Gandi tentu dia tahujika mas Gandi memiliki Melati. Dan juga mas Gandi juga sudah bercerita pada nya kisah kami.

"Melati istri mas Gandi ustad." Jawab ku.

"Bukannya pak Gandi duda." Ucap ustadz Adam.

Aku menatap bingung ke mas Gandi yang ternyata juga menatapku. Aku tidak tahu apa arti tatapan tajam nya itu. Tetapi yang pasti aku benar-benar bingung dan terkejut mendengar ucapan ustadz Adam barusan.

"Sepertinya kami harus pamit dulu karena  sudah malam. Terimakasih atas waktunya ustadz." Sela mas Gandi pamit sambil melirik ku.

Begitu banyak pertanyaan yang ada di kepala ku. Tapi melihat mas Gandi yang hanya diam sedari tadi membuat aku enggan juga bersuara.
Ketika mendekati dimana rumah sakit tempat ku bekerja dia hanya diam sambil menyetir. Membuatku mau tak mau harus bersuara.

"Kamu tau dimana kosan ku mas?"

"Tunjukan arahnya." Ujarnya tanpa repot-repot menoleh pada ku.

"Jadi bisa jelaskan apa maksud ustadz Adam?" Tanya ku saat dia telah menghentikan mesin mobilnya karena telah berada di depan kosan ku.

"Ya Melati telah meninggal." Jawabnya sambil memijat pangkal hidung nya.

"Kapan? Lalu yang di rumah sakit?" Tanya ku penasaran.

" Dua tahun yang lalu saat melahirkan anak kedua kami." Jawab nya dengan suara serak.

"Maaf. Aku tidak tahu." Ujar ku. Ada kesedihan di matanya membuatku tak enak hati.

"Yang kamu lihat di rumah sakit itu Dewi adiknya Melati."Lanjutnya membuatku yang entah kenapa  mnghela nafas lega. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini.






















You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 12, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Seorang IstriWhere stories live. Discover now