2. Driving Me Crazy

183 10 0
                                    

Content Warning: sex and nudity

Sejak hari pertama, Damien sudah meruntuhkan banyak stigma yang selalu aku lekatkan pada teman-teman kencanku.

Dia membayar minumanku, tapi kami tidak menyambut pagi di atas ranjangnya dengan hanya dibalut selimut. Dia tidak meminta nomorku sebelum pergi. Well, mungkin juga tidak perlu karena dia sudah tahu di mana rumahku. Dia tidak berusaha mencuri kesempatan untuk bercumbu denganku. Dia hanya mengelus kepalaku.

Dia menepati janji untuk menelepon besok malamnya, tepat saat aku memikirkan dirinya yang tidak kunjung menelepon. Lucu, aku tidak pernah terlalu memikirkan teman kencanku bila mereka lupa pada janji mereka untuk menghubungiku. Tidak seperti teman kencanku yang lain, Damien tidak menelepon untuk mengajak bertemu di rumahnya dan melewati malam di atas ranjangnya. Dia hanya menemani Sabtu malamku yang sepi hingga hari berganti lewat telepon.

Dia tidak juga membahas ucapanku tentang ketidaksediaanku untuk berkomitmen. Biasanya, pria-pria itu akan langsung tergiur. Siapa yang tidak tertarik pada kepuasan tanpa jeratan komitmen?

Begitu mereka membutuhkan "teman", mereka akan menghubungiku. Aku hanya memberi dua syarat: hubungan kami tidak bisa melibatkan perasaan dan mereka tidak bisa memaksaku. Aku bebas menolak bila sedang tidak ingin menemani mereka. Lagi pula, aku bukan tuna susila.

That's why it's called friends with benefits, right?

Selayaknya teman, kami juga bebas berteman dengan yang lain. Tak ada yang mengatur dan diatur.

Sebagai teman, hubungan kami dekat, tapi tak terikat. Kalaupun ada, ikatan yang menyatukan kami hanyalah berupa gairah yang menguasai nalar.

Dalam hubungan ini, aku tidak perlu terbeban dengan ekspektasi dan mereka tidak perlu khawatir. Tidak ada yang dikorbankan. Kami sama-sama mendapat kepuasan tanpa kerugian emosional dan materi. It's a win-win.

Namun, Damien berbeda. Dia tidak segera membawaku ke rumahnya dan meresmikanku sebagai "teman". Saat pertama kalinya aku bertandang ke sana, dia sama sekali tidak menyentuhku.

Dia tidak menelepon untuk minta "ditemani". Dia kadang muncul di depan rumah, membawakanku makanan kecil. Kukis, roti, gorengan. Dia tidak pernah keberatan kami menghabiskan waktu di luar rumahku. Semua teman kencanku tidak ada yang melakukan hal itu. Anehnya, aku membiarkan semuanya terjadi.

Namun, satu malam, ketika aku tiba-tiba muncul di depan rumahnya dengan wrap dress pasca menghadiri sebuah agensi PR untuk kebutuhan artikel di restoran yang tak jauh dari rumahnya, aku tahu dia kesulitan untuk menahan diri agar tidak menginginkanku. Matanya tak bisa terlepas dariku sejak aku memasuki rumahnya.

Aku baru berjalan melewati setengah ruang tengah ketika aku memutuskan untuk berhenti. Aku juga mendengar langkahnya terhenti tepat di belakangku. Di dalam keheningan, aku bersumpah aku dapat mendengar suara degup jantungku berpacu dengan setiap detik yang berlalu. Namun, Damien tidak juga segera mendekatiku, sehingga aku berbalik.

Dia menatapku dalam. Hasratnya untuk menyentuhku berteriak lantang melalui sorot matanya. Dia berusaha mengalihkannya dengan melempar pandangan ke sudut ruang tengah, mencoba mendahuluiku. Tapi, tanganku meraih lengannya, perlahan menariknya mendekat.

Tanganku terangkat untuk menyentuh pipinya. Dia menutup mata, menikmati belaianku. Aku berjinjit, mencoba meraih bibirnya. Sudah cukup sebulan aku hanya bisa membayangkan menyentuh bibirnya. Bahkan, ketika aku bersama dengan "teman"ku yang lain, aku terus membayangkan rasanya mencium Damien.

Damien masih menutup bibirnya rapat-rapat ketika bibir kami bertemu. Ketika aku menyapukan bibirku di atas bibirnya, dia masih bergeming.

"If you don't stop..."

All or NothingWhere stories live. Discover now