9. Coffee Talk

19 0 0
                                    

Zach mendekati meja kami dengan membawa dua cangkir berisi kopi pesanan kami masing-masing. Dia meletakkan gelas berisi latte di depanku dan membawa Americano di tangannya, menghirup aromanya sembari duduk di hadapanku.

Dulu, aku suka memprotes bila dia menghirup apapun yang hendak dikonsumsinya, terutama minuman. Menurutku, itu sangat aneh. Namun, seringkali dia tidak mengindahkanku. Ternyata, dia masih suka melakukannya. Seperti dia masih suka berdiri sambil membaca.

"Kamu nggak pernah suka kalau aku cium-cium gini, kan?" tanyanya sambil tersenyum jahil dan kembali menghirup aroma kopinya.

Aku melengos, tidak ingin semakin terbawa arus nostalgia yang tak berhenti membolak-balikkan perasaanku.

"Kamu nggak pa-pa menunggu sebentar, kan?"

Aku menggeleng. Zach sudah mengeluh mengantuk usai bedah buku. Itulah mengapa aku jadi terjebak duduk berdua dengannya di kafe gedung acara book fair. Padahal seingatku, secangkir kopi sudah menemaninya pagi tadi sebelum semua karyawan masuk. Dia memang senang datang pagi-pagi sekali.

Lepas makan siang, dia juga sudah menandaskan isi cangkir kedua.

Aku mengerling saat mendengar Zach berdecak. Raut wajahnya menunjukkan dia tidak menyukai kopi yang diminumnya.

"Berapa kali lo bisa minum kopi dalam waktu sehari?" tanyaku dingin, berusaha tidak menunjukkan nada ingin tahu.

Zach menaruh cangkirnya, tampak terkejut melihatku yang penasaran. Melihat reaksinya, rasanya aku ingin memutar balikkan waktu dan menahan diri untuk bertanya.

"Ya, minimal tiga cangkir."

"Banyak banget." Komentar itu keluar dengan spontan, semakin mengangkat ujung bibirnya. "Gue penasaran doang, bukannya peduli."

Desah napas kecil keluar dari hidungnya saat dia tertawa tanpa suara.

"Mungkin hanya sugesti, tapi aku nggak jadi gampang uring-uringan kalau minum kopi. Soalnya kalau udah uring-uringan, nanti kerjaan nggak cepat selesai karena mood-nya jelek."

Aku menekan punggungku di sandaran kursi sambil bersedekap. Kepalaku menghadap pintu masuk, kembali menghindari kontak mata dengan Zach.

"Gue nggak butuh tahu itu."

Dari ujung mata, aku bisa melihat Zach mengangguk pelan dan kembali membawa cangkir ke mulutnya.

Meski terlihat tidak suka, Zach tetap menyesap kopinya.

Aku berdecak kesal. "Kalau nggak suka, kenapa masih diminum, sih?"

"Ngantuk, Ve."

"Ya udah, kalau gitu, gue aja yang bawa mobilnya."

Zach menggeleng. "Nggak perlu. Biar aku aja, tapi nanti, ya. Kita di sini dulu."

"Buat apa? Keperluan kita di sini, kan, sudah selesai."

"Catching up?"

Mulutku menganga. Mendengar jawabannya, aku menjadi sangsi kalau dia benar-benar mengantuk. Dia mungkin hanya menjadikan acara minum kopi ini sebagai umpan agar aku bisa menghabiskan waktu dengannya.

Lalu, kalimatnya di hari pertama aku bekerja kembali terngiang di telingaku.

"Semua orang punya agenda," ucapku, mengulang perkataannya.

Zach hanya menatapku, mengonfirmasi tuduhan tersirat yang aku berikan.

Keseluruhan acara ini dan mengajakku pergi berdua sudah menjadi agendanya. Acara book fair hanya menjadi dalih.

All or NothingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang