7. The Boss

172 6 2
                                    

Tanpa kata, aku bergegas keluar dari ruangan editor-in-chief, membawa serta kalimat ambigu Zach yang kini memenuhi isi otakku. Di balik pintu yang sudah tertutup sempurna, aku mencoba menetralkan gemuruh di dalam dada. Dengan kepala tegak, aku melangkah ke mejaku, tidak ingin dia menyaksikan diriku yang masih bisa dikendalikan olehnya.

Begitu aku duduk, aku melihat blinds yang tadi menutup jendela ruangan Zach sudah dibuka. Aku merasakan sepasang mata di balik jendela itu kini mengawasiku.

"Ve, lo kenapa? Kok pucat begitu?" tanya Phoebe.

Aku memilih untuk memalingkan wajah ke arah Phoebe daripada mengalah pada rasa penasaran yang mendesak untuk terus melirik ke ruangan Zach.

"Lo jangan overreact, ya," ucapku.

Phoebe menarik kursinya mendekati meja yang memisahkan area kerja kami. Kepalanya mengangguk cepat.

Aku mendesah berat. "Lo masih ingat cerita gue soal mantan pacar gue?"

Phoebe mengangguk, sama sekali tak berusaha ingin menyebut namanya. Dia tahu persis aku tidak suka mendengar nama Zach disebut oleh siapapun. Nama itu hanya keluar sekali saat aku menceritakan masa laluku dengan Zach pada Phoebe. Sejak itu, kami tidak pernah membahasnya. Apalagi menyebut nama lengkapnya.

Lagi pula, tidak pernah terpikirkan olehku bila dia akan kembali, terlebih karena dia sudah menegaskan kalau kembali bukanlah opsi untuknya.

Phoebe menepuk punggung tanganku. Raut bingung mewarnai wajahnya. "Kenapa memangnya?"

Lagi, aku menghela napas panjang. "Dia... dia Pak Jan."

Rahang Phoebe jatuh. Matanya menatapku horor. Segera aku mendorong dagu Phoebe ke atas agar mulutnya dapat kembali terkatup.

"H... how?" dia tergagap.

"Jan Zachary Lewis is his full name. Jan Lewis."

Dia meringis. "Oh, shoot. Ve, maaf, gue nggak tahu."

Aku mengibaskan tangan. Aku tidak menyalahkannya.

"Gue juga nggak pernah kasih tahu banyak hal soal Zach sama lo," ucapku lirih.

Memang salahku. Setelah Zach pergi, aku membuat hidupku seakan tak pernah terjamah oleh kehadirannya. Aku memilih untuk membuang semua kenangan tentang Zach, termasuk foto-fotonya. Phoebe juga tidak pernah melihat wajah Zach, praktis membuatnya mengenal Zach hanya dari satu nama itu dan apa yang terjadi di antara aku dengan laki-laki itu.

Zach pun menghilang tanpa jejak. Di saat orang sibuk berkutat dengan media sosial, Zach menghindarinya. Dia tidak membagikan hidupnya di internet. Setelah beberapa tahun, aku menyerah untuk mencari tahu tentang dirinya.

Eksistensinya mulai samar sebelum benar-benar terkubur. Keberadaannya nyaris tidak nyata. Dia hanya hidup di dalam memoriku dan orang-orang yang mengenal kami.

"Gue juga nggak nyangka dia bakal pakai nama Jan di sini," lanjutku. Aku mengerang kesal. "Gue merasa goblok banget. Memang berapa banyak orang di sini yang punya nama Jan, sih? Itu bukan nama sejuta umat, kayak Agus. Kenapa gue nggak kepikiran kalau 'Yan' yang lo maksud adalah Jan Zachary Lewis, mantan gue?"

Phoebe menggenggam tanganku erat. Meski ada raut cemas, tapi dia berusaha menatapku penuh keyakinan. Refleks, aku terdiam.

"Apa itu penting, Ve?" tanya Phoebe. "Lo di sini buat mimpi lo, bukan Zach. Cuekin aja."

Aku menaikkan alis, mencoba membuatnya mengelaborasi maksud 'cuek' yang baru dia lontarkan.

Phoebe menggaruk kepala. "Tapi, susah juga, ya, kalau atasan sendiri."

All or NothingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang