12. Dinner Time

14 0 0
                                    

Content warning: sex and nudity

Aku menopang dagu di atas meja dapur sembari memperhatikannya menata berbagai sayuran dan potongan ayam panggang di dalam kulit tortilla. Namun, kelihaian jemarinya dalam menyusun selada yang ditumpuk dengan potongan tomat, bawang bombay, ayam panggang, dan saus salsa kerap terabaikan dengan keberadaan bagian atas tubuhnya yang tak dibalut pakaian. Bukan karena pakaian bersihnya tak bersisa setelah seminggu perjalanan bisnis, tapi dia lebih merelakan kemejanya melapisi tubuhku.

Damien memotong miring salad wrap yang dia buat, meletakkannya di atas piring dan menyodorkannya kepadaku. Damien pasti sengaja membuat milikku lebih berisi, mengingat tadi aku terus mengeluh lapar setelah dua ronde yang kami lalui. Dan menunggu layanan pesan antar terlalu lama untuk perutku yang sudah meronta. Akhirnya, Damien menawarkan diri untuk membuat makan malam untukku.

Aku membawa potongan pertama salad wrap buatan Damien ke mulut. Saat aku mengunyah, aku kembali mengerang, mengulang momen saat aku makan kukis di depan rumah.

"Stop it," tegur Damien.

"Kenapa, sih? Ini tuh bentuk pujian karena makanan buatanmu enak, lho," protesku usai menelan gigitan pertama.

Damien tertawa kecil. "Why, thank you."

Kemudian, dia mencondongkan tubuh dan ibu jarinya mengusap ujung bibirku. Entah apa yang tersisa di sana, aku tidak peduli. Fokusku sudah hilang di dalam mata Damien yang menatapku seolah tidak ada lagi hal yang pantas diperhatikan selain diriku.

"Tapi, kamu tahu bentuk pujian yang lebih aku suka?" tanyanya yang aku jawab dengan gelengan pelan. "Kalau kamu habisin makananmu." Dia tersenyum kecil. "Apalagi tadi kamu bilang kamu lapar."

Damien bergerak semakin dekat. Bibirnya mencium lembut senyum tipis yang terurai di bibirku. Hanya sekali sebelum dia menarik diri. Tapi, senyumku belum hilang karena melihatnya yang memikirkan kebutuhanku. Kebutuhan perutku, lebih tepatnya.

"Sekarang, makan yang benar dulu, ya," ujarnya pelan.

Bagai terkena hipnotis, aku menurut.

Aku kembali menggigit salad wrap dan ketika aku menghabiskan potongan pertamaku, aku baru menyadari kalau Damien hanya mengamatiku makan. Dia belum menyentuh makanannya sendiri.

"Kok nggak makan?" tanyaku.

"Kali aja ada yang butuh nambah."

"Aku nggak serakus itu juga kali," aku kembali memprotes. "Ayo makan sama aku. Masa aku makan sendirian."

Aku menepuk punggung kursi tinggi di sampingku, memintanya untuk duduk di sebelahku. Sembari membawa piring, dia memutari meja sebelum mengambil kursi di sampingku. Bersamaan dengan aku yang mengambil potongan kedua salad wrap, dia memakan isi piringnya.

"Padahal kamu yang lebih capek. Baru datang dari Manado, masih ke tempatku, sekarang malah buatin makanan. Belum istirahat sama sekali."

"Aku nggak secapek itu kok, tenang saja. Tadi juga sudah tidur di pesawat," sanggah Damien.

Sulit rasanya untuk tidak merasakan sesuatu ketika Damien mulai mengesampingkan dirinya untukku. Setiap itu terjadi, aku harus menegur diriku dengan keras. Kalimat seperti Damien tidak berbeda dengan "teman-teman"ku yang menginginkan tubuhku untuk pelampiasan nafsu belaka atau bahwa sikap baiknya hanya sebagai ungkapan terima kasih karena telah menemaninya, sering aku lontarkan pada diriku.

Aku tak mau jatuh dalam perangkap itu lagi. Namun, Damien juga sulit aku hindari. Setiap dia pergi ke luar kota atau negeri, aku selalu menemukan diriku mendambakannya. Baru kali ini saja ketika aku menghabiskan seminggu pertamaku di bawah pengawasan Zach, aku bisa sedikit mengurangi frekuensi otakku untuk memikirkan Damien.

All or NothingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang