5. Foto

2K 333 52
                                    

Lagi-lagi hatiku terasa ngilu, sikap kebapakan yang Om Dava tujukan kepada anak-anaknya seketika membuatku teringat pada Papa. Meski saat kehilangannya aku masih terlalu kecil dan sudah lupa pada semua kenangan bersamanya tapi aku yakin jika beliau masih ada Papa juga akan sama tegasnya seperti Om Dava.

Selanjutnya kami pun mulai memakan sarapan kami tanpa adanya Raffael.

##

Seharian ini aku hanya diam di rumah, membantu Tante Alea di dapur dan juga membantunya merawat kebun bunga miliknya. Banyak sekali jenis bunga yang ada di kebun itu, Tante Alea mengatakan kalau rumah kaca itu Om Dava yang buatkan untuknya sepuluh tahun yang lalu, dan untuk bunga-bunganya anak-anak merekalah yang menanamnya. Sungguh indahnya kehidupan keluarga mertuaku ini layaknya bunga-bunga disini, hingga perasaan bersalah kembali bercokol di hatiku saat teringat akan perubahan sikap Raffael--yang mana telah berhasil merusak kebahagiaan mereka.

Sore harinya saat selesai mandi, aku memakai pakaian yang ku bawa dari rumah Om Hery. Mumpung Raffael belum pulang jadi ku sempatkan untuk melihat-lihat isi kamarnya, meski tiap kali melihat barang-barang disana hatiku langsung menyesak karena rata-rata di dominasi oleh foto-foto Raffael dan Monika, tapi ada satu foto yang sebenarnya sudah menarik perhatianku sejak awal-Foto anak lelaki yang tengah memakai seragam sekolah. Sepertinya ini foto Raffael waktu kecil, wajah polosnya di foto itu benar-benar berbeda dengan Raffael yang sekarang.

Aku jadi membayangkan seperti apa Raffael waktu masih taman kanak-kanak dulu, apakah waktu kecil ia juga sudah jadi idola banyak orang seperti sekarang? Sayang sekali aku tidak bisa mengingat kehidupanku dahulu, karena satu-satunya yang mampu kuingat hanyalah pelukan terakhir Mama saat mobil yang Papa kendarai terguling di jurang. Apalagi setelah itu tidak banyak yang Om Hery ceritakan kepadaku, terakhir kali ia hanya mengatakan kalau sebelum kecelakaan itu terjadi aku dan keluargaku tinggal di Bandung, itupun baru beberapa tahun yang lalu aku mengetahuinya. Dan sekarang jika di tanya lagi, Om Hery seolah enggan untuk membahas lagi tentang masa laluku, entahlah aku juga tidak mengerti apa alasannya.

Malam harinya, kami hanya makan malam berenam, lagi-lagi minus Raffael. Meski Om Dava mengatakan kalau Raffael sedang lembur di kantor, entah mengapa firasatku mengatakan kalau sebenarnya Raffael pulang terlambat karena untuk menghindariku. Ya, alasan apalagi memangnya, mengingat betapa tidak sukanya ia padaku.

Pukul 11 malam, aku mendengar mobilnya memasuki halaman. Aku langsung siaga dari tidurku, ah ... apa sebaiknya aku pura-pura tidur saja? Tapi bagaimanapun Raffael adalah suamiku sekarang, dan sudah tugas seorang istri untuk melayani suaminya. Karena itulah begitu ia memasuki kamar, aku memberanikan diri untuk menegurnya lebih dulu.

"Kamu sudah pulang?"

Ku lihat Raffael seperti terkejut saat mendapatiku belum tidur, tapi alih-alih membentakku seperti biasanya, ia malah tidak menjawab pertanyaanku. Wajahnya terlihat lelah, ia melemparkan jas kerjanya dengan asal-asalan ke ranjang, lalu melepaskan kemejanya dengan cuek, seakan tidak ada aku dikamar itu.

Akupun buru-buru menunduk, hatiku menjadi berdebar gelisah saat dari ujung mata, kulihat Raffael mulai melucuti pakaiannya satu persatu.

"Kenapa, bukannya udah biasa lo lihat cowok telanjang?"

"Hah?" Aku yang tidak mengerti sontak mendongak, dan bersyukur saat mendapati Raffael yang telah mengganti pakaiannya.

"Jangan munafik, gue tahu tingkah laku lo seperti apa di luar sana?"

"Aku nggak ngerti maksud kamu apa?" tanyaku dengan kebingungan yang nyata.

Raffael tersenyum miring, seakan mengolok ucapanku. "Gue mau langsung tidur, lo mending minggir deh sebelum gue tendang!"

(Un)Wanted BrideWo Geschichten leben. Entdecke jetzt