24

2.7K 388 85
                                    

Double up yess😉

-----------------------

"Ini surat gugatan cerai dariku, dan aku ingin kamu menandatanganinya, segera!" kataku sambil mengulurkan surat perceraian kami padanya, begitu Naya akan membuka pintu kamarnya.

Naya terlihat terkejut, entah karena kemunculanku yang tiba-tiba atau karena ucapanku mengenai perceraian kami.

"Ta-tapi kenapa Raf?" tanyanya dengan raut yang sudah berubah mendung, dan mendadak aku ingin sekali memeluknya.

Astaga ... hentikan ketololanmu Raf!

"Kenapa? Bukannya lo sendiri yang minta ini sebulan yang lalu?" kilahku sambil memunggunginya-demi menjaga hatiku agar tidak mudah luluh melihat wajah sendunya.

"Tapi, waktu itu kamu bilang kita nggak jadi cerai,"

Kalau aku tidak salah suara Naya terdengar bergetar, apa dia sedang menahan tangis? Aku tahu saat ini Naya pasti bingung padaku, ini sudah kedua kalinya aku tidak bisa memegang ucapanku sendiri. Dulu saat Naya ingin bercerai, aku dengan keras menolak keinginannya itu dengan alasan ingin mengekang kebebasannya, tapi sekarang aku malah menggugat cerai dirinya setelah melakukan percintaan panas kemarin malam.

"Itu dulu, tapi sekarang ... Gue ingin kita cerai!" kataku saat sudah berbalik menghadapnya dengan wajah dingin yang sengaja ku tampilkan.

Kulihat kabut bening mulai bermunculan di kedua mata indahnya, apa dia merasa sedih dengan adanya gugatan cerai dariku?

"Apa itu karena Mario dan Kak Firma? Aku bisa jelaskan soal...."

Aku membeku sejenak, apa sikap cemburuku ini tampak jelas olehnya? Tapi dari pada itu, alasan terbesarku untuk menceraikannya adalah karena aku tidak mau mengkhianati Monika.

"Gue nggak peduli dengan hubungan kalian! Bahkan meski kalian bermain gila di belakang gue sekalipun, gue bener-bener nggak peduli!" kataku tajam, setajam tatapan yang ku layangkan ketika mendekat kearahnya.

"Gue hanya mau lo pergi dari kehidupan gue, sudah cukup gue mengkhianati Monika, dengan terus membiarkan lo berada di dekat gue! Sekarang gue sadar, berpisah dari lo adalah cara terbaik untuk menebus kesalahan gue ke Monika."

Naya terbungkam oleh kata-kata dinginku itu, wajahnya jauh lebih mendung dari pada sebelumnya. Dan aku benci mengakui-kalau aku tak suka melihatnya yang seperti itu.

"Baiklah jika itu yang kamu inginkan, aku akan menandatanganinya sekarang."

Aku tertegun, mendadak aku menjadi tak rela mendengar jawabannya. Astaga, sebenarnya apa yang aku inginkan? Mengapa hatiku tak sejalan dengan otakku? Akhirnya tanpa membuang waktu, segera ku keluarkan pulpen milikku untuk kuberikan padanya.

Naya menandatangani surat itu tanpa membacanya lebih dulu. Aku sangat heran melihatnya, apa dia tidak tertarik mengetahui berapa besar harta gono gini yang akan ia dapatkan dari perceraian kami?

"Lo nggak mau baca dulu isinya?"

Dia menggeleng dengan wajah menunduk.

"Oke, gue jelasin kalau gitu ... di surat ini tertulis kalau dari perceraian ini lo hanya akan mendapatkan satu unit apartemen dan juga 5 persen saham di PT. Gemilang Praja. Gimana, cukup kan harta gono gini yang gue kasih?" tanyaku dengan nada menantang.

Dia mendongak, menatapku dengan sayu sembari mengulas senyum padaku.

"Terimakasih untuk semua pemberianmu itu, meski sebenarnya untuk seorang menantu di keluarga Fernandez yang kaya raya, seharusnya aku bisa mendapatkan harta gono gini dari perceraian ini dengan nilai yang jauh lebih banyak dari yang tadi kau tawarkan. Tapi nggak apa-apa, aku juga nggak butuh itu semua. Silahkan kamu simpan kembali semua itu, karena aku tidak mau menerimanya," kataku dengan nada dingin yang tak pernah ku dengar sebelumnya.

(Un)Wanted BrideWo Geschichten leben. Entdecke jetzt