15. Rasa yang mulai tumbuh

2.3K 364 78
                                    

Seolah tidak melihatku, Raffael kemudian melewatiku begitu saja tanpa adanya konfrontasi seperti biasanya. Lalu tak lama ku dengar suara mobilnya meninggalkan pelataran rumah.

Anehnya aku malah mengkhawatirkan kondisinya, apa dia sudah makan? Bagaimana jika nanti dia jatuh sakit lagi seperti kemarin?

Bodoh! Kenapa juga aku harus peduli padanya, bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing?

##

Hari berlalu begitu cepat, tanpa terasa kini sudah satu bulan lamanya dari kejadian malam itu. Dan betapa terkejutnya aku, saat bangun tidur aku mendapati noda merah di celana dalam yang ku pakai. Buru-buru ku membersihkan diri dan langsung memberitahukan Raffael soal ini begitu ia terbangun.

"Raf, ada yang ingin aku sampaikan," kataku dengan penuh semangat, hingga Raffael yang nyawanya belum terkumpul penuh, sontak menatapku dengan bingung. "Aku dapet Raf!"

Raffael masih bengong, jadi kusimpulkan mungkin Raffael tidak mengerti ucapanku.

"Hari ini tamu bulananku dateng," tegasku dengan sepasang pipi yang memanas.

"Maksud lo?" Kening Raffael mengkerut, masih duduk di tepi ranjang ia menatap lurus kearahku yang berdiri tepat di hadapannya.

"Aku nggak hamil Raf." Aku tersenyum dengan hati yang terasa ringan. "Kita bisa mulai mempersiapkan perceraian kita dari sekarang!" kataku berusaha memperjelas maksud kalimatku.

Satu detik, dua detik.

Ku perhatikan Raffael masih belum juga bereaksi, dia bahkan hanya menatapku lurus tanpa ekspresi. Lalu detik berikutnya Raffael berdiri, dia berjalan kearahku dengan sepasang tangan terselip di kantung piama.

"Nggak hamil ya? Kalo gitu ayo kita buat lagi?"

Ucapan itu sontak membuatku melongo, berhari-hari tidak saling bertegur sapa dengannya, ku pikir dia tidak akan menjadi gila seperti ini. Karena sungguh, jika ini memang hanya sebuah lelucon, Raffael melakukannya dengan baik, karena ucapannya hampir membuat tawaku lepas.

"Jangan konyol Raf, ini nggak lucu!"

"Memangnya siapa yang sedang melucu, lo bilang lo nggak hamil kan? Yaudah ayo kita berusaha lagi, siapa tahu setelah ini lo bisa hamil," katanya dengan santai.

Aku lagi-lagi tercengang dengan ucapannya, apa dia masih belum bisa membedakan dunia mimpi dengan kenyataan?

"Kamu lagi ngigau ya?" tanyaku yang tanpa sadar berjalan mundur.

Raffael mendongak sambil terkekeh pelan, sebelum menatapku dengan wajah serius.

"Menurut lo?"

Aku membeku, jelas Raffael tidak terlihat seperti sedang bermimpi, tapi mengapa ucapannya jadi melantur begini?

"Kamu pasti lagi ngerjain aku!" Aku berusaha mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku. Ya, lagipula pemikiran tersebut sekiranya sangat tepat menurutku.

Raffael menarik salah satu sudut bibirnya seirama dengan kedua bahunya yang terangkat santai.

"Terserah lo mau mikir apa, tapi yang jelas ... kesepatakan kita batal, dan kita nggak jadi cerai!" katanya penuh penekanan dengan sorot mata yang menegaskan kesungguhan.

Raffael kemudian meninggalkanku yang masih membatu di tempat-memikirkan kata-katanya.

"Raf, tunggu!" Aku mengejarnya hingga ke dalam kamar mandi, tak peduli meski saat ini aku mendapat tatapan tajam darinya. "Kamu nggak bisa dong, seenaknya saja membatalkan kesepakatan kita! Dan lagipula apa alasanmu, mempertahankan pernikahan ini?" protesku tidak terima.

(Un)Wanted BrideWhere stories live. Discover now