9. The Game Will Start

2K 255 41
                                    

Kita bahagia saat ini,
maka tak perlu berusaha 'tuk memiliki.
—Hollow

♠♠♠

"Toast-nya kalau dipakein telur gini enak gak, sih?"

Ceysa mengangguk, masih mengunyah sarapannya.

"Atau kamu lebih suka dibuat scramble egg terus dimakan bareng sausages and mashed potato yang kayak biasanya?"

"Dua-duanya enak, kok."

Grace Kirana, wanita cantik yang umurnya telah mencapai kepala tiga itu bergumam. Beliau memang tidak menyukai ada keheningan tercipta di meja makan cukup besar yang sayangnya sejak dulu hanya diperuntukkan dua orang perempuan.

Teringat sesuatu, wanita itu berkata, "Dari dulu Mami pengen nyoba buat omura egg, tapi kamu gak suka yang kurang mateng gitu, padahal enak, loh."

"Seenak ap—"

"Mamiiii!"

Kiran—begitu biasa wanita itu disapa—menoleh menatap si pemanggil. Senyumnya mengembang.

"Hey, Barbie. Tumben ke sini pagi-pagi." Ia beranjak, merentangkan kedua tangan bersiap menyambut kehadiran "anak kesayangan" dalam pelukan.

Ganggu aja nih orang. Ceysa meletakkan sisa toast di atas piring, selera makannya menguap begitu saja  kala ibunya melempar senyum ke arah Sharletta Queensha, perempuan yang memiliki usia terpaut dua tahun lebih tua darinya.

"Mamiiii, liat nih kulit aku. Kering kerontang kayak gurun sahara. Skincare aku abis, Mamiiii," adu Sharletta.

Ceysa merotasikan bola mata malas. Dia meneguk susu plain sampai habis, lalu berdiri dari duduknya tepat setelah sang ibu mengucap janji untuk segera mengirimkan perempuan yang seharusnya masih kuliah itu sejumlah uang.

"Yeayyy! Sayang Mami banyak-banyak!"

Sumpah, gue gak se-childish itu eventho I'm younger than her.

Menghampiri ibunya yang baru saja melepas rengkuhan, Ceysa mengecup pipi kiri Kiran. "Aku mau ke atas. Belajar biar pinter." Ia berpamit.

"Iya, Sayang. Nanti kalau perlu apa-apa bilang, ya?" Setelah mendapat anggukan dari sang anak, ia beralih menatap Sharletta. "Kamu udah sarapan? Mau Mami bikin—"

"Gak usah repot-repot, Mi." Bukan Sharletta yang menjawab, melainkan Ceysa. Melempar senyuman sinis pada gadis yang mengenakan kemeja putih dilapisi vest abu-abu tua dan white golf skirt, ia berujar lagi, "Punya gue tuh masih banyak. Jangan protes. Sama-sama bekas, 'kan?"

Tanpa mengindahkan seruan memeringati dari Kiran, Ceysa menaiki satu persatu anak tangga, meninggalkan Sharletta dengan mulut medusa-nya yang mengadu soal bagaimana dia memerlakukan orang itu. Ceysa berdecih.

Lantai tiga. Di sinilah tempat Ceysa berdiri, tempat yang hanya boleh dipijak olehnya dan sang ibu. Kiran dulu memang sengaja membangun wilayah ini begitu Ceysa mengerti akan sesuatu dan beberapa orang meminta anaknya. Beliau tidak mau buah hati satu-satunya terjerumus dalam dosa besar yang ia tekuni sejak belasan tahun silam.

"Aku pengen punya kamar di samping kamarnya Mami!" pinta Ceysa, saat dia masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar.

"Jangan, Ceysa, nanti kamu keberisikan."

Jika lantai pertama dan lantai kedua memiliki konsep klasik, di sini bohemian merajai. Kiran dulu sampai protes sebab risih melihat banyak warna serta komponen memenuhi ruangan. Berantakan, katanya. Ceysa pun membela kalau yang demikian merupakan another type of aesthetic. Dikarenakan ini wilayah khusus sang anak, Kiran mengalah.

HOLLOW Where stories live. Discover now