6.

1.8K 199 32
                                    

"Kalo gue jawab iya, gapapa, kan?"

Vivi membenturkan keningnya di atas buku yang berisi soal-soal olimpiade, ucapan Chika kemarin masih terngiang-ngiang di kepalanya sampai saat ini. Bahkan ia sengaja kabur dari jam pertama sampai sekarang istirahat kedua supaya bisa menghindari Chika.

Tolol-tolol-tolol-tolol, maki Vivi dalam hati.

Kepala Vivi menoleh ke samping, ia meletakkan pipi kanannya ke atas buku lalu ia bergumam, "Jangan bilang gue mulai suka sama Chika."

Vivi memejamkan matanya, "Please-please-please, ini cuma salah paham doang."

Semalam Vivi tidak bisa tidur, jantungnya terus berdegup cepat karena memikirkan Chika yang sebentar lagi berpacaran dengan seseorang yang tidak ia ketahui. Chika tidak memberi tahu dirinya siapa orang yang menyatakan perasaan kepada Chika, ia juga tidak tahu apakah ini akal-akalannya Chika saja atau memang benar-benar terjadi.

Tapi melihat tatapan mata Chika saat mengatakan hal itu membuat Vivi bingung, Chika tidak terlihat bohong atau mengada-ada. Mungkin memang benar ada yang menyatakan perasaan kepada Chika.

Perasaannya Vivi carut-marut, layar ponselnya terus mati-hidup sejak bel jam pertama dibunyikan. Ia yakin kalau itu pasti ulah Mira dan Ara yang mencemaskan dirinya. Bersembunyi di perpustakaan bagian pojok belakang adalah satu hal yang mungkin tidak diduga oleh Mira dan Ara, jadi ini tempat pelarian yang cocok untuk dirinya.

"Gak, ini salah." Vivi menegakkan tubuhnya, ia menepuk-nepuk pipinya berkali-kali. "Kita saudara, jadi gak mungkin gue suka sama Chika. Gak mungkin."

"Lo tadi pake 'aku-kamu'."

Vivi membulatkan kedua bola matanya, tiba-tiba ia teringat saat Chika mengatakan kalau dirinya menggunakan logat 'aku-kamu' tanpa ia sadari. Ini antara dirinya terlalu nyaman mengobrol dengan Chika atau karena ia terlalu fokus untuk membahas kematian Hitler. Sepertinya untuk tidak menambah pikirannya, ia lebih memilih pilihan yang kedua.

"Jangan ada yang jatuh cinta."

"Kalo sampe ada yang jatuh cinta, baik itu elo atau gue, jujur aja, tapi setelah itu kita gak boleh ngomong atau deket lagi."

Mampus sudah hidup Vivi saat ini, kalau ia jatuh cinta kepada Chika, pasti ia terjebak dengan janji aneh yang ia buat dengan Chika. Dulu ia senang kalau tidak lagi bertemu atau berbicara dengan Chika, tapi kalau sekarang, sepertinya ia lebih memilih menghabiskan seumur hidupnya untuk melihat wajah Chika.

Vivi menjambak rambutnya sendiri sampai tidak berbentuk seperti rambut seorang manusia. Ia menepuk-nepuk keningnya supaya tidak kembali mengingat apa yang sudah terjadi antara dirinya dan Chika kemarin-kemarin.

Vivi harus memeriksakan otaknya, siapa tahu masalah jantungnya juga ikut mempengaruhi otak dan perasaannya. Hari ini jadwalnya kontrol rutin ke dokter yang menangani dirinya, ia nanti akan meminta dokter untuk sekalian mengecek apakah ada yang salah dengan otaknya atau tidak.

"Lo cek kesehatan ke dokter kapan?"

"Gue ikut."

Vivi menghela napas panjang, ia menjatuhkan wajahnya ke atas buku. Ia menyerah melawan pikirannya sendiri yang sama sekali tidak sinkron dengan keinginannya. Semakin ia menolak kehadiran Chika, semakin otaknya memberikan fakta-fakta kalau Chika pasti akan hadir ke kehidupannya.

"Gue nyerah. Mau tidur." Gumam Vivi.

Beberapa detik kemudian, akhirnya Vivi benar-benar tertidur setelah mengaku kalah setelah melawan dirinya sendiri. Sedari tadi Vivi berusaha tidak memikirkan Chika dengan mengerjakan soal-soal itu, tapi sampai semua soal itu sudah Vivi kerjakan, ia masih saja tidak bisa menghilangkan Chika dari pikirannya.

LemonWhere stories live. Discover now