60.

1.2K 200 29
                                    

"Tolong kembali ke tempat duduk. Terima kasih."

Vivi mengerjap saat pesawat yang ia duduki sedikit bergoyang, sepertinya badai belum benar-benar berhenti. Ia meringis merasakan kepalanya sangat sakit, ia menyentuh keningnya dan mengurut pelipisnya.

"Nice try, Vi." Dio menutup buku yang ia baca lalu ia menatap ke arah Vivi.

Vivi menoleh, ia melihat buku yang dibawa Vivi adalah buku milik Alo yang tadi ia mintai tolong secara tersirat. Pasti tadi Dio pergi untuk mengambil buku itu dan memastikan Alo tidak melakukan apa-apa untuk menggagalkan rencana ini.

"Lo pingsan selama 15 menit dan kamar Naomi belum diganti." Ucap Dio, ia mengambil obat dan ia berikan kepada Vivi. "Jadi gue siapin obat buat elo."

"Gue gak butuh." Tolak Vivi.

Dio mengambil botol minum dan ia berikan bersamaan dengan obat, "Lo harus tetep fokus, Vi."

Vivi menerima obat itu, ia telan dan ia dorong dengan air minum itu. Ia memejamkan matanya dan perlahan sakit di kepalanya sudah berangsur menghilang. Kepala Dio sangat keras sampai ia bisa pingsan selama 15 menit. Kalau saja ia pingsan sampai 1 jam lagi, pasti sekarang semuanya akan baik-baik saja.

"Sekarang, ayo lakukan." Dio mengambil telepon berkabel.

Vivi menoleh, "Kalo gue nelpon hotel, lo janji bakal nyuruh siapapun yang di luar rumah gue buat pergi dan batalin bomnya Chika?"

"Lo nelfon, gue nelfon."

"Gue telfon hotelnya." Dio menggesek kartu kredit dan memencet tombol di telepon berkabel, setelah itu ia berikan kepada Vivi.

Vivi menghela napas panjang, ia menerima telepon berkabel dan ia tempelkan di telinga kanannya. Ia tidak tahu apa yang direncanakan oleh Dio, ia juga tidak tahu apakah Dio benar-benar melepaskan Chika dan Christy setelah ia menelfon. Ia sama sekali tidak tahu, tapi ia juga tidak punya pilihan lagi.

"Selamat pagi, Laut Biru Resort Hotel, anda berbicara dengan Kurnia."

"Ini Viona Fadrin, anak dari Shinta Naomi Prasetya." Ucap Vivi.

"Oh, anda sudah datang? Perlu jemputan dari pihak kami?"

Vivi menggeleng kepalanya pelan, "Aku memerlukan bantuanmu."

"Apa yang dapat kami ban--"

Vivi tidak bisa mendengar lanjutan suara dari Kurnia si petugas hotel itu. Sepertinya ada masalah dari telepon berkabel yang membuat panggilan mereka terputus. Vivi tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini.

"Aku ingin kamu mengganti kamar bu Naomi. Katakan saja itu dari Viona Fadrin." Vivi melirik ke arah Dio yang sedang mengawasinya.

Dio menoleh ke samping, ia mengerutkan keningnya saat melihat seseorang menggoyang-goyangkan telepon berkabel. Matanya memicing, ada sambungan yang terputus karena badai yang masih berlanjut.

"Ya, pindahkan ke kamar 4917. Aku--"

Dio merebut telepon berkabel dari tangan Vivi, ia menatap Vivi lalu menggoyang-goyangkan telepon itu. "Lo gak bisa bohongin gue."

Vivi menghela napas panjang, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia pikir ia sudah berhasil mengelabuhi Dio, ternyata ia salah, Dio jauh lebih cerdik daripada dirinya.

"Pemikiran yang cerdas." Puji Dio. Ia mengembalikan telepon berkabel di tempatnya.

"Lo gak punya rencana cadangan? Plan B?" Vivi menatap ke arah Dio. "Kenapa lo ngelakuin hal itu di sini?"

Dio menoleh cepat, "Salahin panitia seminar. Lo ke solo, jadi narasumber, Naomi ke pantai, dan di sinilah kita."

"Jadi apa yang terjadi kalau teleponnya gak bisa digunain?" Tanya Vivi.

LemonWhere stories live. Discover now