-Part 1

1.1K 147 1
                                    

Jennie mendengus kesal, kedua tangannya terlipat dibawah dada.

"Putri anda membawa mobil secara ugal-ugalan, bukankah itu akan membahayakan pengendara lain?"

Ayah Jennie menatap putrinya tak percaya, sedangkan yang ditatap malah membuang muka.

"Dan dia juga memarkirkan mobilnya secara egois dipinggir jalan yang ramai." Sambung petugas polisi menjejerkan seluruh kesalahan Jennie.

"Jadi kami mengambil mobilnya."

Ayah Jennie menghela nafas panjang. "Jadi, apa saya bisa mengambil mobilnya kembali?"

Polisi itu menggeleng. "Anda harus memenuhi syratnya dahulu sebelum mengambil kembali mobil putri anda."



"Kenapa appa kemari?" Tanya Jennie setelah mereka berdua berada diluar kantor polisi.

Ayahnya tak menjawab. Dia tetap berjalan menuju mobilnya yang berjarak tak jauh lagi.

"APPA! Seharusnya kau tidak kesini! Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri! Ck!" Jennie mendecak kesal dan ayahnya langsung berhenti kemudian berpaling.

"Kau pikir dirimu bisa menangani ini sendiri? Hei bocah nakal! Sebenarnya aku tidak ingin kemari. Tapi aku ingat bahwa kau tetap anakku dan seterusnya akan begitu."

Jennie mengeluarkan nafas kesal. "Aku anakmu? Sejak kapan?"

"Aku membiayai diriku sendiri sejak eomma meninggal. Sedangkan appa? Appa malah menikah lagi dengan wanita jalang itu!" Sambung Jennie, matanya mulai memanas.

"YAA! sudah kubilang, jangan memanggilnya jalang! Dia sekarang adalah ibu tirimu! Apa kau tidak diajarin sopan santu hah?!"

"Hiksss, aku benci appa!" Jennie menangis pelan di tempat.

Ayahnya terdiam dengan mata yang fokus menatap Jennie, putri kandungnya. Rasa bersalah tiba-tiba saja muncul, memang sejak Jennie kelas 2 SMP sampai sekarang ia tak pernah berada disamping gadis itu.

Jennie tinggal terpisah oleh ayahnya sejak ia kelas 2 SMP. Ia hanya diberikan kartu unlimited, meskipun begitu, ia jarang memakai kartu itu kecuali untuk kepentingan mendadak.

Sehari-hari Jennie bekerja paruh waktu, ayahnya tak tahu itu. Hingga ia mempunyai tabungan sendiri.

Sekarang Jennie tumbuh menjadi wanita yang mandiri dan cantik.

"Kemarilah. Ikut appa pulang kerumah."

Tangan ayah Jennie menggapai pundak putrinya. Lalu mendekap pundak itu dengan lembut.

"Mianhae Jennie."

Kecupan ringan mengenai ujung kepala Jennie. Gadis itu menangis, sebenarnya ia adalah anak yang baik. Ia tetap menyayangi dan menuruti ayahnya. tapi ia juga kesal, ayahnya lebih memilih untuk tetap tinggal bersama istri barunya ketimbang bersama putri kandungnya.

Ayah Jennie menuntun putrinya untuk masuk kedalam mobil.



"Eomma! Appa pulang!!" Teriak seorang gadis berusia 15 tahunan. Dia berlari mendekati seorang wanita yang sedang duduk disofa.

"Lalu? Apa masalahnya?" Balas wanita itu dengan cuek, jemarinya sibuk bermain hp.

"Appa membawa Jennie eonnie!"

"Benarkah?" Wanita itu turun dari sofa, kakinya berjalan menuju pintu untuk menyambut kedatangan suaminya.

Ya. Wanita itu adalah ibu tiri Jennie, sedangkan gadis yang berusia 15 tahun tadi adalah adik tiri Jennie. Mereka berdua mempunyai sudut pandang yang berbeda walaupun satu darah, ibunya memiliki sikap tidak suka terhadap Jennie sedangkan Se Hoon —adik tiri Jennie— kebalikannya.

Jung Yoo —ibu tiri Jennie— mulai membuka pintu. Bibirnya merekahkan senyuman senang begitupun dengan Se Hoon.

"Jennie eonnie!" Teriak Se Hoon, gadis ini berlari mendekati Jennie.

"Hai Se Hoon~ah." Jennie tersenyum tipis. Tak lama kemudian Se Hoon langsung memeluk erat tubuhnya.

"Aku rindu eonnie." Keluh Se Hoon sembari mendongak menatap wajah kakaknya.

"Begitupun denganku." Balas Jennie mengelus surai Se Hoon.

"Kau pasti lelah Jennie~ya, masuklah dan istirahat."

Jung Yoo tersenyum hangat, tapi Jennie tahu bahwa senyumannya itu palsu.

Jennie melenggang masuk kedalam rumah, wajahnya berubah menjadi datar saat berpapasan langsung dengan wajah Jung Yoo.

"Aku ikut eonnie!" Se Hoon berlari menyusul Jennie dari belakang. Ayah dan ibu tirinya pun melakukan hal yang sama.

Saat berada diruang tamu, tepatnya didekat sofa panjang. Langkah Jennie tercegat, mata kucingnya menatap lekat pada sebuah boneka porselen pria yang tengah duduk disofa panjang itu.

Ia mengira boneka itu adalah boneka baru milik Se Hoon.

"Itu milikmu Se Hoon?" Tanya Jennie menunjuk pada boneka porselen pria yang sedang duduk dengan tatapan kosong dan bibir yang pucat melengkungkan senyuman tipis.

Se Hoon hanya menggeleng. "Bukan, itu milik appa." Balasnya membuat Jennie tersenyum geli.

"Jadi sekarang appa memainkan boneka? Atau mengoleksinya?"

Se Hoon menggeleng lagi. "Tidak tahu, tadi kemarin malam appa membawanya."

"Oh." Jennie oh-ria, mungkin boneka itu milik teman Ayahnya. "Se Hoon, antarkan aku pada kamar kosong."

"Untuk apa eon?"

"Tentu saja untuk tempat istirahatku malam ini."

"Tidur saja dikamarku, kasur punyaku besar."

Jennie berfikir sejenak. "Baiklah, ayo!"



Pukul 23:00 PM

Jennie mengucek matanya, ia terbangun karena merasa haus. Bibirnya terasa kering bersamaan dengan tenggorokannya.

"Se Hoon~ya, antarkan aku yuk! Ke dapur." Jennie menggoyangkan pundak adiknya.

Sementara Se Hoon malah membalikkan posisi tidurnya, ia membelakangi Jennie.

"Ck." Jennie mendecak kesal lalu mengumpulkan niat untuk kedapur seorang diri.

Kakinya turun ke lantai, tangannya mengucek mata. Jennie berjalan menuju dapur, sendirian.

Jennie tidak memperdulikan bahwa lampu-lampu yang di laluinya kebanyakan gelap dan remang-remang. Karena memang ini sudah hampir tengah malam, jadi suasana gelap seperti ini memang sudah biasa untuknya.

Setelah sesampainya Jennie didalam dapur. Tangannya menjangkau gelas kaca yang sudah tersusun rapih sedangkan tangannya yang lain berusaha untuk membuka pintu lemari pendingin.

Ia mengeluarkan sebuah botol yang berisi air putih lalu menuangkannya kedalam gelas kaca yang sudah disiapkan.

Tiba-tiba ia merasa bahwa saat ini, ia sedang diperhatikan. Tapi Jennie tidak memperdulikan itu, dia tetap menenggak air dingin yang berada digelasnya.

Air yang berada didalam gelasnya mulai surut perlahan, kemudian habis diminum. Jennie melenguh lega sambil meletakkan kembali gelas itu.

Sekelebat bayangan hitam muncul dibelakang tubuhnya. Tapi Jennie tak menyadari itu, ia masih berfikir positif. Ia ingat bahwa didapur hanya ada dirinya sendiri, tidak ada orang lain.

Tubuhnya berbalik. Ternyata tidak ada siapa-siapa. Jennie menjadi heran sendiri, ia kira ada seseorang yang datang kedapur.

Fyuhh~

Telinga Jennie seperti ada yang meniup. Matanya langsung membola kaget, ia menengok setiap penjuru arah tapi tidak ada siapapun didekatnya.

Ketakutan mulai tumbuh pada Jennie. wanita itu mengambil langkah kebelakang sebelum ia berjalan cepat menuju kamar Se Hoon.

Bayangan hitam itu muncul lagi didalam dapur tepat dimana Jennie berdiri tadi. Ia tersenyum tipis, "Wanita yang menarik. Aku menginginkannya!"

Married With A Porcelain DollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang