52. Should this to be the ending?🍂

365 49 9
                                    

Sorry for typo guys, soalnya kebut beberapa jam. So, happy reading dan jangan lupa putar mulmed diatas biar makin kerasa! Wkwk

🍂🍂🍂

Hina menatap pemandangan kelap-kelip di hadapannya dengan mata kosong. Kilau dari sorot lampu bangunan-bangunan tinggi tak sedikit pun membuatnya tertatik. Hempasan angin kencang yang menerpa wajah dan rambutnya pun tak ia hiraukan. Udara dingin yang membelenggu ia abaikan. Hina sudah bagaikan jasad tanpa jiwa. Dengan keadaannya yang berdiri tepat di samping pembatas rooftop bangunan rumah sakit 12 lantai itu bahkan tak membuatnya takut dan bergeming.

Banyak yang tengah ia pikirkan. Banyak yang ia coba kuasai. Mulai dari luka-lukanya yang kecil hingga luka yang menganga lebar. Malam ini, mengingat semuanya menjadi terasa lebih sakit. Hina tau, depresinya sepertinya akan kembali muncul. Rasa-rasa yang ia rasakan sekarang pernah ia rasakan sebelumnya. Hina menyadari itu.

Hina memutuskan menyendiri di rooftop rumah sakit meninggalkan Jaemin hingga berjam-jam lamanya. Hina hanya perlu membuka akses dengan statusnya sebagai menantu keluarga Na untuk bisa sampai di sana. Rooftop rumah sakit itu adalah area yang tertutup. Hanya bisa dikunjungi oleh pihak-pihak dari rumah sakit itu sendiri. Dan beruntungnya, kakek mertua Hina adalah salah satu bagian penting dalam struktur rumah sakit tersebut.

Sejak matahari terik hingga matahari tenggelam, Hina menghabiskan waktu dengan termenung. Merenungkan bagaimana nanti ia hidup dimasa depan? Atau-bisakah Hina hidup sampai ke masa depan?

Hina menghela napas panjangnya. Merasa sedikit sakit pada kakinya karena berdiri terlalu lama. Tapi entah kenapa, dirinya tak ingin beranjak. Ia masih ingin berdiri di sana lebih lama atau mungkin beranjak satu atau dua langkah untuk segera mengakhiri hidupnya. Hina sempat berpikir seperti itu. Mengingat alasannya untuk hidup juga tengah berada di ambang maut.

Hina sudah lelah menangis, ia sudah pernah mengataknnya bukan? Rasanya tak adil saat setiap detik dalam hidupnya ia habiskan untuk selalu berusaha berbuat baik sedangkan takdir yang ia dapat selalu dapat mencekiknya hingga ia muak dan ingin segera berhenti bernapas. Rasanya juga tak adil saat setiap detik dalam hidupnya dipenuhi oleh memaafkan dan memaafkan.

Hina benar-benar sudah muak. Ia sudah sangat lelah bermain dengan semesta yang tak berpihak padanya. Orang-orangnya yang membuatnya bahagia selalu diambil lebih dulu. Pertama neneknya, adik perempuannya dan sekarang Jaemin juga? Membayangkan Jaemin pergi meninggalkannya membuatnya ingin benar-benar lompat dan mengakhiri semua lukanya lebih dulu. Biarkan Hina nanti yang akan menyambut Jaemin di langit sana.

"Menjauh dari sana, Na Hina!"

Hina terhenyak saat mendengar seruan tajam dari arah belakangnya. Suara bass yang sudah sangat ia kenal. "Lee Jeno?"

"Ingin melakukannya dengan senang hati atau aku harus memaksamu?"

Hina bergeming. Ia justru tengah tersenyum miris pada bulan yang membentuk sabit.

"Hina?"

"..."

"Hina, aku bicara padamu!" Sentak Jeno sembari mendekat. "Kau gila?!" pekiknya saat sudah berdiri di samping pijakan Hina berdiri. Hanya perlu menarik tangan Hina untuk membuat gadis itu turun. Namun, Jeno tak ingin bertindak gegabah. Salah sedikit saja, Hina bisa saja jatuh.

"Jeno, aku ingin bertanya padamu."

"Apa?"

"Aku dan Jaemin, apa kami bisa berdiri beriringan lagi?"

"Kenapa kau bertanya seperti itu? Tentu bisa! Kau adalah satu-satunya untuk Jaemin. Jangan bilang kau ingin lari darinya lagi?"

"Mau sampai kapan, Jeno? Sampai kapan kegelapan ini menyergap diriku? Aku bahkan tak bisa melihat bayanganku berdiri bersama dengannya. Apa selama ini aku hanya bermimpi memilikinya? Air mata ini tak berhenti menetes, Jeno. Hingga semua ini menjadi kenangan, apa Jaemin akan mengenangku dengan senyuman?"

Are We? Forever(End)Where stories live. Discover now