17. Gugup

82 8 0
                                    

17. Gugup

Malam kembali berbicara di balik dingin yang ia sampaikan. Lampu pijar jalanan yang terang menerawang mereka yang tengah duduk di bawah bintang gemintang. Wangi penjaja sate di seberang jalan semakin membara di bawa oleh angin yang berhembus, menambah bumbu-bumbu aroma kepada sepiring makanan yang sedang di santap. Harapan-harapan tertuang dalam doa yang Freya lantunkan untuk tetap bersama, terbang bersama dengan nyanyian sekelompok pemuda yang tengah beriang manja di sana.

Tatkala ia memandang wajah Raka yang berkeringat, tersentil sebuah rasa cemas yang ia rasakan. Akan ada satu titik di mana ia akan berada di penghujung cerita. Menginjak titik akhir yang sama sekali tidak berupa. Tampak gelap dengan aroma putus asa. Pelik sekali tatkala Freya memaklumi semuanya dengan titik nadir perasaan. Realita menyadarinya, semesta pun sadar akan hal itu. Dirinya bukanlah apa-apa, ia tetap orang lain. Walaupun seberapa manis pun perlakuan Raka padanya.

Ia hela napas pada santap terakhir. Raka yang di sampingnya sudah sedari tadi menghabiskan makanan. Lagi-lagi, pria itu selalu tersenyum tanpa dipinta. Begitu mudahnya bibir pria itu untuk melebar tanpa beban. Meyakinkan setiap lawan bicara bahwa ia merupakan orang yang terbuka dan menyenangkan.

“Sudah siap untuk juara?” tanya Raka.

Freya tersenyum. “Gue siap sampai kapan pun.”

“Mari kita ke sana. Sudah satu jam berlalu. Mungkin mereka udah menyiapkan nama untuk lo.”

“Ah, lo bisa aja. Tapi, gue tetap berdoa, kok,” balas Freya dengan wajah tersipu.

Raka berdiri seiring dengan gerak tangannya mengambil dompet dan membayar sejumlah uang kepada pemilik angkringan.  Sambut tangannya menadah layaknya pangeran. Ragu rasanya Freya untuk menyentuh tangan Raka, tetapi hati tidak gundah untuk menggapai. Gugup ia rasakan, kesempatan tidak memberikan waktu bagi Freya untuk menutupinya. Tanpa diduga, Freya lepaskan genggaman tangan itu sembari mencari celah alasan.

“Kenapa? Ada yang tinggal?” tanya Raka..

“Oh, enggak, kok. Gue mau permisi sebentar ke swalayan di sana.” Ia menunjuk ke arah barat. “Gue mau ke WC.”

“Lo gugup, ya? Makanya mau ke WC. Tenang aja, lo pasti juara.”

“Haha … salah satunya, gue rasa,” pungkas Freya sembari meninggalkan Raka.

Alasan yang sudah disebutkan tidak sepenuhnya dusta. Ia memang ingin ke WC sedari tadi. Sembari mencari celah untuk menghindari rasa gugupnya itu, ia terpaksa beralasan seperti itu. Setelah selesai dari alasannya tersebut, ia duduk di sebuah bangku gelap di ujung taman alun-alun kota. Di sana ia mencari nama sahabatnya dan menghubungi untuk menceritakan semua. Tidak butuh lama untuk menunggu jawaban, sebentar saja wanita yang hidupnya penuh drama itu mengangkat panggilan dari Freya.

“Gue tadi pegangan tangan sama Raka,” ucap Freya.

“Apa? Kok bisa? Oh, bukan … kok dia mau, sih?” tanya Alena.

Wajah Freya berubah. “Punya teman kok begini amat ya.”

“Hahaha canda, kok. Ceritakan, gue juga penasaran.”

Freya tersenyum. “Tadi itu tiba-tiba aja dia menadahkankan tangan ke gue, terus gue reflek buat menyambut tangan dia.”

“Ya, gue saranin lo juga jangan baper. Lo tahu sendiri kan dia memang lembut sama siapa aja. Apalagi lo sekarang udah dibilang teman dekat Raka. Hati-hati sama perasaan,” balas Alena.

Freya mengangguk. “Baiklah, gue paham, kok. Gue harusnya realistis.”

“Tapi, lo enggak boleh pesimis. Jalanin aja.”

‘Oke, thanks banget ya udah mau dengerin gue.”

“Apa sih?! Kaya enggak lo aja. Hahaha ….” Alena tertawa di balik sana.
“Hahah, iya. Terima kasih banyak.”

Sambungan panggilan ditutup. Kembali Freya langkahkan kaki menuju lokasi Raka. Langkah yang diayun semakin scepat tatkala menatap segerombolan orang sudah mulai melangkah menuju ke panggung. Freya angkat bagian bawah pakaian untuk berlari. Tubuhnya yang kecil membuat langkah kakinya tak bermain dengan cepat. Keringat menyucur di dahi, menetes mengalir ke pipi. Wajahnya basah seiring tangan yang terangkat untuk menatap jam tangan.

Langkahnya terhenti. Wajahnya terhempas di dada empuk yang bewangi khas. Sweater yang menyentuh terasa lembut, terutama tatkala tangan pria itu memeluk dirinya untuk tidak terjatuh. Ia mendongak menatap siapa gerangan tangan yang merengkuhnya. Matanya melebar, tatap teduh seorang pria yang tak terbiasa tersenyum. Garis-garis wajah yang samar terlihat menjadi sebuah pertanyaan bagaimana bisa ia berada di sini sembari menahan tubuh Freya. Lembaran ingatan tatkala rinai mengguyur di perempatan jalanan tersibak seketika. Mengguncang rasa degup jantung tatkala menyadari jika ia sedang berada di sini bersamanya.

***





Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang