BAB 1

6 1 0
                                    

"Satu Tahun Sembilan Bulan Sebelum Mereka Bertemu"

Jam weker di samping tempat tidur membuat seorang gadis berusia sembilan belas tahun sedikit berjengit. Dia mengernyit dengan wajah kesal saat mematikan alaram pada weker yang menjerit membangunkan sang pemilik. Jarum panjangnya menunjukkan angka sebelas sedangkan jarum pendeknya menunjukkan angka enam. Pukul tujuh kurang lima menit.

Dengan bermalas-malasan gadis itu menatap jam wekernya tidak peduli, namun tubuhnya terlonjak kaget saat mengingat jadwal kuliahnya pagi itu. Suara jerit histeris serta panik membawa tubuhnya berlari memasuki kamar mandi yang ada di luar kamar, dekat dengan dapur. Nyaris saja ia menabrak ayahnya yang baru saja bangun dan memasuki pintu di hadapannya.

"Diana? Kau baru bangun?"

Diana tidak menanggapi, dia terus memasuki kamar mandi dan bersiap-siap ke kampus dengan gerakan terburu-buru. Hendri hanya menggeleng melihat tingkah putrinya yang masih tidak berubah. Pagi itu dia menyiapkan sarapan untuknya dan juga Diana. Ini sudah menjadi rutinitas beberapa bulan yang lalu, tepatnya sejak perusahaannya mengalami kebangkrutan.

Hendri harus menerima semua beban yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Membayar tagihan listrik dan air; membayar kontrakan; dan juga kebutuhan Diana yang sedang menempuh pendidikan di salah satu Universitas Swasta yang biayanya cukup mahal. Namun, lebih daripada itu. Dia harus membayar hutang-hutang perusahaan yang tidak bisa ditutupi dengan menjual saham dan juga perusahaannya yang colaps.

........................................................

Hendri mengoles selai cokelat pada roti dengan wajah muram. Kepalanya dihantui dengan berbagai kemungkinan membayar semua hutang dan tagihan, namun dia tidak yakin bisa melunasinya dengan hanya mengandalkan pekerjaan lepas, apa lagi sebuah fakta bahwa saat ini dia pengangguran.

"Ayah....!" Diana berlari menuju meja makan dan memakan roti di piringnya. Gadis itu meminum susunya dengan buru-buru dan mencium kedua pipi Hendri, sama cepatnya dengan kunyahan roti yang penuh di mulutnya.

"Diana, pelan-pelan. Kau bisa tersedak," ujar Hendri waswas melihat sikap buru-buru Diana. Gadis itu mengangguk dan melesat keluar dengan tas tersampir di pundak.

Diana bukan tipe gadis modis yang akan memakai high heels atau tas edisi terbatas, maupun baju branded dari perancang ternama. Dia bukan gadis seperti itu. Diana sudah terbiasa hidup tanpa benda-benda bermerek yang membuatnya tampil seperti wanita sosialita dalam lingkungannya andai saja orang tuanya tidak bangkrut.

Semua koleksi pribadinya dijual bersamaan dengan rumah serta semua benda berharga miliknya. Kini, dia hanya gadis biasa. Perlahan teman-temannya pun mulai menjauh, tapi Diana tidak peduli, selama itu tidak menjadikannya sebatang kara. Hanya Hendri yang ia miliki, dan dia bersyukur ayahnya tidak gila, atau lebih buruk. Bunuh diri. Mengingat mereka sudah tidak memiliki apa pun lagi sejak krisis perusahaan yang keluarganya alami.

Saat ini Diana sibuk pada kuliahnya, dia bertekad agar segera lulus dan membantu ayahnya membayar hutang yang ia tahu jumlahnya tidak sedikit.

................................................

Setelah menyelesaikan studinya hari itu, Diana akan kembali ke rumah kontrakan mereka yang kecil dan menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang menumpuk.

Ayahnya tidak berada di rumah siang hari. Diana juga tidak tahu ke mana ayahnya pergi karena pria itu hanya mengatakan ia bekerja dan tidak bilang apa persisnya pekerjaan yang ia lakukan. Gadis itu tidak sampai hati menginterogasi ayahnya di saat mereka sedang sulit seperti ini. Dia akan membiarkan ayahnya dengan segala urusan yang tidak akan pernah ia mengerti.

My TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang