BAB 3

5 0 0
                                    

Langit menyebarkan seberkas cahaya oranye saat mata Diana terbuka. Dia yakin saat ini sudah sore. Tubuhnya bergerak malas dan dia berusaha duduk, menyipitkan mata pada kisi-kisi jendela yang memancarkan cahaya silau.

"Berapa lama aku tertidur?" gumamnya, memeriksa jam tangan yang masih melingkar di lengan. "Astaga! Mengapa aku lupa pekerjaanku di laundri?" Diana memunguti peralatannya ke dalam tas tangan, dan memasang kaus kaki beserta sepatu yang tadi ia buang sembarangan. Namun gerakannya tiba-tiba terhenti.

Diana terdiam cukup lama, memandang sepatunya yang masih terpasang sebelah, hingga akhirnya tertawa keras dengan suara berderai. Tawanya lebih terdengar seperti lolongan pelampiasan rasa sakit bercampur kesinisan. Tangannya memegang perutnya yang terasa perih akibat tertawa tanpa henti. Sudut-sudut matanya mengeluarkan tetes air, dan tawa itu berubah menjadi isakan.

"Mengapa aku bisa lupa," gumamnya. "Aku adalah tawanan dalam penjara ketakutan dari hutang-hutang ayahku. Hahaha ... bodohnya aku jika keluar sekarang, sama saja aku bunuh diri," katanya parau di sela isak tangisnya.

Diana kembali berbaring, membiarkan dirinya tenggelam dalam selimut kesedihan. Dia menatap langit-langit kamar yang baru ditempati beberapa saat lalu.

"Ayah, apa aku bisa bertahan dengan diriku yang sekarang? Apakah kau akan marah jika aku melakukan hal yang rendah? Bagaimana kau akan mempertanggungjawabkan ini padaku?" Matanya menerawang, membayangkan wajah ayahnya yang terlihat berwibawa dengan jas kerja serta senyum menawan yang selalu ia banggakan.

Suara dering ponsel menarik perhatian Diana, dia melirik layarnya. Ada rasa lega saat melihat tertera satu nama di sana.

"Halo, Diana? Apa kau baik-baik saja? Di mana kau saat ini, aku akan menjemputmu." Suara pria dari seberang membuat Diana tersenyum kecil. Pria itu jelas mengkhawatirkannya.

"Aku baik-baik saja Ari. Kau bisa menemuiku besok, sekarang sudah sangat sore dan aku tidak ingin keluar," jawabnya, berusaha terdengar tenang. "Kita bertemu di taman saja."

"Baiklah, aku akan menunggumu seperti biasa."

Sambungan telepon itu terputus. Diana membiarkan ponselnya masih menempel di telinga. Dia membayangkan wajah Ari yang pasti mengkhawatirkannya.

............................................................

Sepanjang perjalanan menuju taman, mata Diana siaga. Tak henti-hentinya gadis itu mengawasi sekitar, takut kalau-kalau ia diikuti oleh rentenir yang sedang mengejarnya. Bahkan setelah sampai di taman pun, Diana masih gelisah meskipun saat ini Ari berada di sampingnya.

"Ada apa? Apakah mereka mengganggumu?" Ari men-yentuh punggung tangan Diana, meminta perhatian darinya. Diana menatap Ari dengan pandangan 'jangan khawatir' dan ia kembali memperhatikan lalu-lalang pengunjung taman.

"Aku akan menemanimu, kau bisa percaya padaku," ujarnya, menunjukkan bahwa dia benar-benar peduli.

Diana tidak bisa mengatakan apa pun. Ari adalah satu-satunya pria yang masih mau berteman dengannya, namun dia tidak ingin memberi pria itu harapan karena dia hanya menganggap Ari sebagai teman.

Gadis itu lebih dari tahu bahwa Ari menyimpan rasa selama ini, dan Diana sebisa mungkin menjaga jarak. Sejujurnya, Diana tidak begitu mengenal Ari dengan baik. Mereka hanya bertemu sesekali dan mengobrol hal-hal ringan, tapi pria itu selalu tahu masalah yang menimpanya, membuat Diana keheranan.

Mereka bertemu di kampus Diana yang dulu. Untuk mengingatkan, Diana sudah berhenti kuliah, dia tidak bisa fokus saat dirinya harus menafkahi diri sekaligus membayar hutang bersamaan.

Dia kehilangan pendidikan dan juga kebebasan. Selama lebih satu tahun menderita sepeninggalan ayahnya. Hidupnya yang sekarang hanya dipenuhi oleh benda bernama 'uang'.

My TreasureWhere stories live. Discover now