III. 40. Rencana

2.1K 346 26
                                    

Double up! Terimakasih sudah membaca, berkomentar, dan memberi semangat. Sehat-sehat selalu kalian!

Tiga hari setelahnya Dyah Ayu beserta calon suami lekas berangkat menuju Kerajaan Talu. Beberapa kereta kuda telah berhenti di depan mata, para pejabat istana dari ujung tangga Balai Agung menatap senang. Ada pula beberapa pemuda memandang sedih, mungkin tidak kerelaan mereka terhadap putri Sumbhara karena sudah dipinang lebih dahulu oleh lelaki lain. Merampas paksa menjadi milik gelar seorang pangeran tanpa bisa bertindak diluar batas.

Tidak jauh dari posisi berdiri, Panji Gentala seorang diri melangkah tegap menjauhi kerumunan. Dengan gaya khasnya berpunggung tangan, lelaki itu asik berjalan amat tenang bersamaan memamerkan punggung lebarnya padaku tanpa sengaja. Seketika aku meneguk saliva, tiga hari ini kami berdua bak hilang suara. Tiada percakapan yang menyambut apalagi pertemuan mesra. Tingkahnya saat ini benar-benar seperti Panji Gentala yang ku kenal dahulu.

Kembali aku menoleh ke belakang, kereta kuda baru saja berangkat melewati gerbang utama istana. Dari balik jendela kereta Dyah Ayu memunculkan wajahnya, penuh rencana ia berbisik tanpa kata padaku diramainya banyak orang.

"Tepati janjimu." Katanya, tanpa suara. Yang sigap ku angguk paham.

Perbincangan dua malam lalu memang menjadi sebuah keakraban tersendiri bagiku dengannya, menceritakan hal konyol serta berbagi kesedihan yang telah meringankan beban kami berdua. Pun aku tidak menyangka, kehadiran Dyah Ayu malam itu membuatku merasa memililki saudara ipar meski di awal perkenalan sangatlah buruk. Tapi sekiranya, jika Panji Gentala merasa enggan berunding denganku. Dyah Ayu juga tidak buruk untuk diajak berdiskusi bersama.

"Awisa, dia melakukan itu karena terlalu khawatir akan tentangmu. Aku memang tahu jelas niatnya menikahimu, tentu karena ia menghindariku untuk menjadi istrinya. Namun seiring berjalannya waktu, ku rasa sepupuku itu jatuh hati padamu. Pun, untuk saat ini dia rela melepas takhta jika itu menyangkut dirimu. Dia terlalu bodoh karena terlalu mencintaimu, Awisa."

Itu adalah ungkapan terdungu yang pernah ku dengar, terlontar jelas apa yang dikatakan Dyah Ayu penuh ketidaksukaannya secara terang-terangan kepadaku. Jika sungguh aku tahu akan bergini jadinya, aku berharap untuk tidak pernah bertemu bahkan mencintai Panji Gentala hanya untuk yang satu itu.

Dipikir rakyatnya tidak membutuhkannya? Apakah musuhnya lebih baik memimpin darinya? Meski aku tahu sanya Cutaka menganggap Panji Gentala bukan calon raja yang kompeten, itu belum cukup membuktikan bahwa ia tidak mampu untuk menggerakan jalannya pemerintahan negara besar seperti Sumbhara.

Bisa jadi itu hanya sebuah kedengkian Cutaka upaya menjatuhkan citra sang penerus takhta. Apalagi yang diceritakan oleh Dyah Ayu tentangnya cukup membuatku menggelengkan kepala.

"Dia.. hanya membalaskan dendamnya yang belum terbalas. Menurutmu, apakah seorang putri tunggal Kerajaan Kerthawisesa bertindak untuk hal sepele macam itu? Aku merasa, kerajaan satu itu memang memiliki dendam kesumat tersendiri sejak lama. Untuk perkara macam apa pula aku tidak bisa menebaknya." Dyah Ayu menjeda kalimat, bak memori rusak kembali terputar berulang dalam kepala.

"Pun kalau saja Pangeran Winarseka tidak mengancamku dengan ribuan prajurit dibelakangnya untuk menggertak Sumbhara tentu diriku akan menolak perjodohan menyebalkan ini. Bisa kamu bayangkan itu bila Kerajaan Talu dengan Kerajaan Sumbhara berperang, akan berapa banyak memakan korban? Rakyat hanya ingin hidup tenang tanpa ada perkelahian. Hanya wilayah batas kekuasaan begitu saja sudah sebegitu parahnya."

Untuk hal itu aku tak bisa menyalahkan Dyah Ayu, ku rasa dengan menikahi Pangeran Winarseka lebih baik ketimbang terjadi pertumpahan darah. Dyah Ayu lebih memilih jalan aman tanpa berkelok-kelok sebagaimana rumitnya. Apalagi alasan yang diputuskannya ini untuk menerima pinangan Pangeran Winarseka sama sekali tidak diketahui Panji Gentala. Sanya Dyah Ayu berkorban untuknya.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now