10. Janggal

6.3K 902 50
                                    

Sesaat napas ku tertahan. Segenap langkah gagah dan perkasanya lelaki itu menghampiri. Duduk tenang berseberangan tepat dihadapan ku, kemudian memandang jeli apa yang ada disekitar.

Hal yang terjadi saat ini membuatku tak bisa untuk menahan semua pertanyaan. Berbagai rasa ingin tahu macam hal telah terpatri di otak. Memperkirakan beberapa perempuan memakai jarik seragam yang tak lain adalah dayang, bergerombol secara tertib datang menghampiriku. Menyuruhku untuk berdiri hanya untuk mengambil segenggam bunga, begitu pula perlakuan yang sama terhadap Raden Panji.

Ritual macam apa ini? Aku sama sekali berharap mereka tidak melakukan ritual pesugihan atau apapun itu.

Tak berselang lama, ku lihat seorang lelaki baya datang dari ujung pintu masuk yang disambut berupa gapura kecil. Sekitar lima belas meter jaraknya tak jauh dari pemandian.

Gerakannya tampak lambat saat dia berjalan. Punggung yang bungkuk seakan tak mampu untuk menyanggah diri, mengharuskannya menggunakan tongkat dengan penuh hati-hati. Lelaki renta itu layaknya sepuh yang dihormati. Semuanya menunduk, bahkan Raden Panji sekalipun.

Tak sampai disitu, bola mataku tanpa henti menatapnya. Aku menilai gayanya dalam berpakaian, lelaki baya ini mengingatkanku pendeta yang ada di Pulau Bali. Sama persis, hanya saja yang membedakan pakaiannya yang putih bersih ini tidak lain sebuah kain polos dililitkan pada pundak sebelah kiri.

"Selamat menempuh kehidupan baru, gusti pangeran." Sesampai dihadapan ku dia berkata, pandangan matanya yang tak lagi bersinar menatap Raden Panji penuh hormat. Suaranya yang tak lagi lugas begitu kentara, memegang sebuah batok kelapa pun gemetar.

Tampak ringkih.

"Untukmu, semoga diberi kesejahteraan hidup oleh Sang Hyang Widhi." ujarnya kepadaku, tersenyum penuh arti.

"Jogo akalmu, ya nduk. Semoga bisa menjadi lebih dewasa, terutama saat-saat genting dalam mengambil keputusan." Tanpa menyahut, ku balas menunduk sebagai tanda hormat. Sembari mendengar kata-katanya yang terdengar seperti petuah, seakan-akan aku sedang menempuh kehidupan beda alam.

Aku melirik, dirasa ada yang memerhatikan. Dugaan benar bahwa sedari tadi lelaki baya tengah berbicara Raden Panji terus memandangiku. Kedua mata setajam elang itu membuatku merinding, berbagai khayalan negatif merasak masuk dalam pikiranku.

Jika lelaki sialan memiliki niat jahat, akan ku perhitungkan kematiannya dengan seribu cara siksaan.

Tetapi, semua pikiran negatif sirna. Tatkala Raden Panji memulai pergerakan mampu membuatku lemas tak berkutik. Pelan namun pasti ia mendekati ku, seraya memeluk punggungku erat.

"Lepas," Aku mendesis pelan, sayangnya tak ada balasan selain semakin eratnya lengan menyentuh jaringan reseptor pada permukaan kulitku.

Sialan, apa orang ini sedang drama!? Menjalani lakonnya seperti di film sinetron!?

Apa yang terjadi saat ini benar-benar membuat ku bergidik jijik. Paling memalukan sekaligus membuat bulu roma merinding tegak ketika Raden Panji mendekatkan wajahnya tepat di samping telinga.

Sembari berbisik, ia berkata.

"Selepas ritual ini, aku ingin kamu memanggil ku Kakanda. Kanda Gentala."

"Paham?"

"Paham?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Ritual pun usai, saat itu pula aku diminta kembali ke kediaman. Ditengah perjalanan pun pikiran ku masih melayang kejadian beberapa waktu lalu. Siapa lagi jika bukan Raden Panji dengan segala tingkahnya, yang tanpa permisi menghadirkan kedua warna merah jambu hinggap di pipi. Merutuk sebal, tidak urung menyayangkan segenap hal hari ini.

Kesialan tengah menimpaku.

"Ndoro putri tidak seharusnya menggerutu seperti ini. Bukankah Raden melakukan hal ini demi kebaikan?" Sejenak aku terpaku mendengar apa yang terucap oleh Simbok Yetri, dengan dialek Jawanya yang kental wanita beranak satu itu memberikan pendapat sekaligus wejangan.

Apa yang diucapkannya mungkin dirasa benar. Tetapi dalam benak, aku tidak yakin apa yang dilakukan Raden Panji hanya untuk sebuah kebaikan semata. Hal ini mengingatkan ku beberapa permintaan yang diinginkan lelaki itu sebagai sarat kebebasan. Bukankah hal yang terjadi hari ini adalah salah satu rencananya? Melibatkan ku didalamnya?

"Mohon Ndoro putri mencerna apa yang hamba katakan." Simbok Yetri kembali berujar, tepat disebelah kiri ku ia merapatkan kedua tangan dengan anggun. Lagi-lagi apa yang dilakukannya membuatku jengah, namun tak mengurangi rasa hormatku padanya. Perkataannya luar biasa budi bahasa itu cukup membuatku tersindir untuk bersikap serta berfikir secara akil balig.

Memandang sekitar, menikmati bangunan terlampau kuno terpapar dihadapan. Diiringi helaan napas, kembali melanjutkan langkah kaki yang dirasa pegal. Memikirkan hal sepele seperti ini nyatanya membuat keadaan terasa semakin rumit, mungkinkah aku terlalu memikirkannya?

Jika dipikir dan dicerna kembali, bisa saja meninggalkan tempat yang sama sekali tak familiar ini. Lebih baik pergi melarikan diri ketimbang menjadi korban maraknya kekuasaan dalam genggamannya, bukankah begitu?

Namun, satu pertanyaan rupanya masih terpatri dalam benak. Ada gerangan apa hingga Raden Panji melibatkan ku sejauh ini, mendengar apa yang diucapkan Simbok Yetri entah sebuah kebenaran yang terucap atau memang karena perempuan itu memihak Raden Panji. Bukankah terdengar janggal? Amat jarang Simbok Yetri menyuarakan pendapatnya.

Ritual yang dilaksanakan tadi pagi aku menduga bukan sembarang ritual. Hal teramat membuat ku terheran-heran adalah aku turut melaksanakannya. Mereka tahu bahwa aku bukan berasal dari sini.

Diriku asing, tak memiliki identitas bahkan tak mempunyai asal-usul. Jika  memang benar adanya bahwa aku berasal dari masa depan pun tak ada yang percaya, justru semakin besar derai tawa mereka menjadikan hal ini sebagai guyonan.

Tampaknya, mimpiku kali ini benar-benar mempermainkan ku. Butuh berapa jam lagi agar aku terbangun kembali? Menyebalkan.

-

Purnama malam ini memancarkan sinarnya yang benderang, turut pula semakin terangnya sinar bulan meramaikan suasana ditempat ku berpijak.

Dari kediaman aku memandang luar, sembari minum secangkir air putih sekali tenggak. Mata yang sama sekali tak ada kantuknya mengharuskan ku untuk terus membuka mata, sekalipun tidur tak nyenyak lah yang dirasa.

Banyak orang lalu lalang tampak sibuk membawa makanan, terutama para abdi dalem dengan senyum merekah mereka. Semakin bertanya-tanya, apa pula yang terjadi hampir tengah malam begini?

Memberanikan diri keluar, disambut pijakan kaki dengan dinginnya tanah. Melangkah pelan kemudian mengikuti mereka seakan aku salah satu diantaranya.

Sesampainya di sana, lagi-lagi satu hal yang membuat ku merinding. Suara gamelan yang dirasa tentram sekaligus sedikit menakutkan itu mulai mengisi gendang ditelinga, seakan menyambut para tamu yang mulai berdatangan. Selain itu, disajikan pula para penari dengan gemulai menggerakkan tubuhnya anggun.

Sebuah pendopo,-atau bale paseban? aku tidak tahu perbedaan diantara keduanya, namun tempat satu ini teramat megah, lebih luas berkali lipat dari insiden tempat dimana aku diadili kemarin lusa. Berbagai tanda kebesaran kerajaan terpajang gagah, terutama patung berbentuk macan kemudian disebelahnya keris yang menggantung di sudut-sudut tiang nan kokoh. Aku terperangah tat kala melihat Sanskara tengah menari didepan sana, dengan lentur ia menggerakkan tubuhnya menyesuaikan gerakan lawan. Tentu saja dengan penari perempuan yang jelita itu. Tunggu, bukankah lelaki itu sedang naksir seorang gadis? Mengapa aku merasa Sanskara seorang playboy sekarang.

Lalu, diujung singgasana sana Raden Panji tengah menyesap minumannya. Sesekali kedua mata elangnya terus menjelajahi setiap sudut ruang pendopo. Aku tidak yakin gerangan apa hingga se-waspada itu.

Baiklah, aku akan menyimpulkan. Jadi, acara dalam rangka apa yang sedang digelar ini? Ditengah malam purnama pula.

Lagi-lagi, bukankah hal ini sesuatu yang patut dicurigai?

Cinta Bertakhta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang