Jangan lupa follow akun ini, biar nggak ketinggalan up date cerita lain yang lebih seru! Terutama yang suka latar belakang kolosal, hehe.
-
Hari ini adalah hari ketiga diriku mengikuti penilaian akhir semester ganjil, penilaian terakhir yang akan menentukan pantas atau tidaknya aku masuk ke perguruan tinggi negeri. Rasional atau tidakkah nilai ku dapat menggapainya.
Tapi, lupakanlah semua itu. Aku terlalu muak untuk berjuang saat ini, merasa lelah karena selalu berusaha tekun dalam belajar namun nyatanya sia-sia. Nilaiku selalu turun, malah semakin drastis. Aku tidak tahu apa yang memengaruhi, sekalipun paham materi yang di terangkan. Entah di tempat les maupun sekolah, semua dirasa membosankan.
Begitu pulang sekolah, ku taruh sepasang sepatu hitam di bawah tangga, menjadi sebuah rutinitas yang wajib dilakukan. Kemudian naik ke atas, mengganti baju lalu mulai belajar. Atau di hari-hari lain biasanya langsung pergi ke tempat les mendapat bimbingan belajar mempelajari materi yang tak ku mengerti.
Hal yang aku sesalkan hari ini, sangat disayangkan aku membenci guruku sendiri. Menurutku ini salahnya, dia memaksaku dan seakan tak peduli dengan hasil ujian. Tidak peduli sekalipun penilaian terakhirku di sekolah ini, bahkan dia tidak memberiku tolerir. Selain peduli dengan reputasinya, hanya karena waktu pengerjaan soal sudah selesai. Dengan seenaknya dia berkata,
"Ibu tidak mau tahu, ibu tidak mau ya kalau sampai guru-guru lain menjelek-jelekan ibu." Ujarnya saat Istirahat pertama, sangat disayangkan harus mempunyai guru seperti itu.
Disaat ia berkata seperti itu ingin rasanya aku menjubitnya seraya berkata, "Apakah ada guru lebih layak darimu? Bahkan kamu tak pantas disebut guru." jujur, aku adalah tipe orang emosional. Amat tidak suka bila ada orang yang meremehkanku, sekalipun aku bodoh. Mampu diriku untuk membuktikannya bahwa aku bisa, dan jauh lebih baik darinya. Sekiranya sampai saat ini masih memiliki keinginan bertahan untuk terus belajar.
Dan, kejadian hal ini entah harus bersabar, atau menyesalkannya telah terjadi.
Disaat belajar berlangsung, aku melamun. Merasa benci situasi yang dialami saat ini. Rasanya ingin keluar dari semua masalah yang mengikat dan menjerat, dan tak akan pernah mau mengikut campuri berbagai urusan lainnya.
Lagi-lagi, dengan pikiran seperti itu membuatku tersadar kembali. Sejauh imajinasi melayang, berangan-angan, nyatanya ada yang mengharapkanku agar bisa menyelesaikan alur hidup yang sedang dijalani. Yaitu orang tua ku, berharap mendapat nilai bagus, pintar dalam segala hal, rajin ibadah, tidak lupa tata Krama.
Namun itu semua diluar ekspektasi, diriku ini hanyalah seorang anak yang tak memiliki potensi keterampilan. Terkecuali ilmu bela diri tentunya. Dihadapi permasalahan lumayan sulit untuk jembatan yang akan mengarah pada masa depan. Seperti nantinya harus bagaimana, mengambil jurusan apa, dan apa yang harus dilakukan ketika sudah saatnya orang tua ku membutuhkanku kelak. Tetapi aku belum bisa membantu mereka, memikirkan ini semua secara menyeluruh membuat kepalaku pusing.
Ku putuskan untuk pergi tidur di siang hari, di lantai dua rumah yang sedikit panas. Karena tembok kamar terbuat dari gipsum, wajar saja jika suhu rumahku hampir menyamakan suhu siang ini sebesar 31° C atau lebih panas dari angka semula. Rumahku begitu sederhana, sempit sekalipun setidaknya sangat nyaman untuk ditinggali.
Sesaat mulai memejamkan mata, amat berharap bisa memimpikan apa yang diinginkan secara bebas. Mengimpikan sesuatu yang bisa ku ekspektasikan tanpa perlu takut akan pikul tanggung jawab. Lalu, semua terjadi begitu cepat, seakan aku berganti dimensi dalam waktu satu menit saja.
Ku rasakan suhu panas semakin membakar kulit, mengusap dahi penuh keringat terus mengucur deras. Pandanganku samar, namun semakin terlihat jelas saat aku mulai menyipitkan mata. Bertanya-tanya, apa yang terjadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Bertakhta [TAMAT]
Historical FictionAku berada di tempat sama sekali tak ku kenali. Dari pikiran sibuk akan tugas-tugas sekolah hingga merencanakan masa depan tentang cita-cita, hal yang tak terduga secara tiba-tiba datang melanda. Membawaku pada sebuah zaman jauh dari kata modern, me...