9. Petirtaan

6.4K 900 12
                                    

Kakiku perlahan memijak bebatuan sungai teramat licin, berusaha untuk tidak terpeleset atau hal memalukan akan terjadi. Membayangkan hal itu tak ayal mengingatkan ku kejadian kemarin lusa mampu membuatku geram. Ditertawakan. Dijadikan sebuah lelucon bagi mereka. Persetan dengan hal itu.

Mendudukkan diri di bebatuan, menyiramkan diri dengan kedua tangan secara bergantian. Jarik yang kupakai semalam kini telah basah, terkena air sungai yang dingin nan menyejukkan.

Ku tolehkan kepala ke arah kanan juga kiri, mendapati para perempuan rupanya mereka juga sedang melakukan rutinitas pagi. Ku perhatikan beberapa diantaranya, aktivitas di sini tak kalah sama dengan kampung orang tua ku. Tidak hanya mandi, yang sedang mencuci pakaian pun ada. Bahkan mencuci hitamnya rambut saking panjangnya tak kalah keren, pemandangan langka menurutku. Mencuci Surai sangatlah repot kecuali orang itu benar-benar menyanggupi.

Suasana semakin riuh-rendah ketika sekelompok tua maupun muda mandi sembari bermain air. Tak pandang umur, mereka tampak bahagia diiringi tawa renyah yang mengudara. Ingatkan aku untuk tidak lupa bahagia hari ini.

Kedua mata ini tak ada henti-hentinya untuk melihat sekitar. Aku tidak tahu ke arah manakah arus mengalir, yang ku tahu sungai ini dikelilingi pepohonan rimbun juga lebat. Begitu sejuk saat aku baru menyadari ada sekumpulan tumbuhan bambu di pinggirnya, bergemerisik merdu mengeluarkan suaranya yang khas. Di pagi hari seperti ini memang layak untuk menikmati pemandangan sejenak.

Matahari tampaknya masih malu untuk menampakan diri, hanya seberkas sinar menerangi langit kian membiru.

Tanpa sengaja aku melihat kedua abdi itu tengah menunggu melalui sudut mataku. Berdiam diri layaknya patung, sesekali saling berbisik entah apa yang dibicarakan. Aku merasa tak enak hati, ku sudahi bersiram diri yang begitu singkat. Agak berbeda bagaimana aku mandi tanpa sabun, selain hanya diusapkan daun yang beraroma wangi pada kulit. Tidak tahu daun apa yang ku gunakan, itu pun pemberian dari simbok Yetri.

***

Aku menatap pantulan pada permukaan air, tergenang di dalam suatu seperti asbak yang terbuat dari batu berbentuk persegi. Simbok Bhanurasmi bilang, aku bisa melihat penampilan ku melalui cermin air ini. Hanya pada di siang hari, tentu saja karena terangnya langit.

Tata rambut serta penampilan ku amat sangat berbeda dari sebelumnya, bahkan bagaimana cara gaya berpakaian hampir samanya dengan Dyah Ayu. Warna hijaunya jarik disandingkan dengan selendang berwarna kuning, terlihat kontras dengan kulitku yang sawo matang.

Saking bagusnya aku tidak ingin sampai sosok ku hampir sama pula dengan Nyi Roro Kidul, akan tampak sangat aneh bila orang-orang menyebutku begitu. Itu pun kalau mereka tahu.

Surai ku yang mencapai sepinggang, di ubahnya seperti konde kecil pada bagian atas. Menyisakan banyak rambut sebagai khas penampilan seorang putri. Jika seperti ini terus-menerus aku tidak yakin bisa tahan, panasnya suhu saat siang hari semakin gatal pada kulit berkeringat dengan adanya rambut yang teriap menempel.

Menatap simbok Yetri, dia membalas senyum layaknya ibu kepada anaknya. Aku tak ingin menduga-duga apakah dia sebagai abdi dalem juga mengurusi kularganya di lain waktu? Kurasa akan sedikit merepotkan.

Jujur, aku tidak suka dengan penampilan seperti ini. Tidak dapat leluasa dengan bebas, jarik yang terpakai saat ini mencapai mata kaki. Melangkah kaki pun harus pelan, jika tidak untuk kedua kalinya mungkin aku akan mempermalukan diriku sendiri.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang