Menjadi Baik

1.6K 245 42
                                    

Juli, 2009

Aku kebangun gara-gara rasanya dua kakiku beku. Taunya sejak ketiduran pulang sekolah tadi aku gak pakai selimut sama sekali. Aku juga masih pakai seragam putih biruku, kemudian dua detik setelah itu menggerutu,

"Ck, aduh ... "

Sebab baru sadar jadi harus setrika ulang seragamku. Aku bangkit dan duduk. Lapar, aku belum makan ternyata. Padahal tadi pulang sekolah habis jajan sama Janar rasanya kenyang banget. Aku turun dan keluar kamar, malah berbarengan dengan yang keluar dari kamar A Winan.

Aku cuma senyum menyapanya, dia balas sama. Aku kemudian turun tangga, dia juga sama. Aku ke dapur rumahku, dia juga sama.

"Mau minum juga?" kutanya akhirnya.

Dia senyum lagi, "Iya."

Aku gak balas apapun lagi dan cuma ambil minum buatku sendiri. Dia ini temennya si Aa, suka ke rumah, aku kenal juga. Dia lebih tua dari A Winan, penampilannya kalau pakai seragam sekolah kelihatan gak niat sama sekali. Rambutnya jabrik dan atasan seragamnya selalu dikeluarkan, gak tau sih kalau di sekolahnya kayak gimana. Saat itu aku masih kelas 2 SMP, dia kelas 3 SMA.

"Anya pulang jam berapa?"

"Tadi jam dua."

"Oh..."

Kemudian mataku menoleh ke tangan kirinya. Aku biasa lihat dia pakai gelang, biasanya ada dua sampai tiga gelang di tangan kanan atau kirinya. Kali ini cuma satu, dan gelangnya adalah gelang yang aku mau.

Maksudku, gelang itu sama persis dengan punya Janar. Aku berniat beli beberapa waktu lalu tapi gak pernah nemu karena gelang yang warnanya sama, Janar bilang waktu dia beli tinggal satu. Masa aku harus nyari kesana-kesini satu Bandung? Gak mau! Mana Janar belinya didepan sekolahnya yang sampai aku datangi tapi yang jualan sudah gak ada.

"Kok gelangnya cuma satu?" basa-basiku.

"Yang lain diguntingin Bu guru. Jadi tinggal satu."

"Beli gelangnya dimana?" kutanya akhirnya.

Dia mengangkat tangan kirinya, "Depan sekolah."

"Depan sekolah si Aa?"

"Sekolahnya Winan 'kan sekolah saya juga."

Waktu itu kupikir bagaimanapun caranya aku harus beli-oh enggak, aku harus nitip beliin gelang itu ke A Winan. Aku mau samaan sama Janar.

"Anya mau?"

"Kenapa?"

Aku dengar. Aku dengar jelas dia bilang apa.

"Anya mau gelangnya?" tanyanya ulang.

"Mau." spontanku.

Eh, dia malah langsung lepas gelang di tangannya. Kemudian diulurkan padaku pakai tangan kanannya.

"Nih, buat Anya."

"Eh?"

"Katanya barusan mau."

"Iya, mau beli maksudnya."

"Udah gak jualan."

"Bohong!"

"Bener! Sekarang tukang dagangnya jualan cilok."

Aku ketawa.

"Kok ketawa?" tapi dia juga ketawa.

Sejurus kemudian aku bingung, malu, tapi mau.

"Nih, katanya mau."

Aku kemudian malu-maluin terima gelang darinya. Aku seneng. Aku seneng banget karena aku jadi bisa samaan dengan Janar.

"Makasih ya, A Bayu!"

"Sama-sama."















Menjadi Baik
[ Spin off universe from: Sepuluh Ribu Senja ]
bluehanabi, 2021

Untuk menjadi baik, contohnya Adyan Bayutama.














Juli, 2019

Aku menulis cerita Sepuluh Ribu Senja karena aku merasa aku belum cukup mencintai seseorang didalamnya, yang mana pada kenyataannya sama saja aku belum cukup mencintai diriku juga. Buku ini, akan kuisi tentang seseorang. Tentangku juga pastinya. Seseorang yang kemarin sore bawa cireng ke rumah, lalu dia makan di teras berdua denganku.

"Gak tau kamu sukanya apa, katanya lagi pengen yang panas-panas." dia bilang.

"Apa aja suka da." kujawab.

"Kalo sama saya?" tanyanya.

"Hah?" aku menoleh.

Dia malah ketawa, "Enggak, ah." lanjutnya.

Gak aneh dia suka begitu orangnya. Kenalkan, namanya Bayu. Kau pasti sudah merasa mengenal dia. Tapi belum, enggak, kau belum cukup mengenal Bayu. Sebab begitu pula aku. Selamat membaca. Bertemu lagi denganku. Hai, aku Andrea.
















adakah yang penasaran baca???

Menjadi BaikWhere stories live. Discover now