6. Warna dan Caranya

400 153 9
                                    

Kalau kau pikir hubungan yang serius adalah langsung menikah, buatku bukan cuma menikah. Serius dengan hubungan yang ada juga bisa disebut serius yang sama.

Kupikir Bayu gak punya konsep yang sama denganku namun dia kelihatan setuju-setuju saja karena dia gak menunjukkannya. Maksudku, kadang-kadang dia gak bilang apa yang ada di pikirannya kalau gak kutanya. Pernah kubilang kalau aku gak ada pilihan, biasanya dia punya alternatif jawaban. Namun itu pun ternyata gak selalu dia keluarkan.

"Kayaknya mending yang tadi, deh." kataku.

"Ya boleh, terserah kamu aja menurut kamu yang mana."

"Tapi tadi kamu bilang yang sana lebih bagus gak, sih?"

"Yang mana? Oh, iya lebih bagus itu tapi kalo kamu mau yang tadi gak apa-apa. Pilih aja yang kamu mau."

"Makanya nanya juga aku bingung."

"Iyaaaa, udah santai aja milihnya." katanya.

"Kok kamu gak ikut milih sih, apa-apa aku terus? Apa-apa yang aku bilang kamu setuju terus."

Dua alisnya agak naik, "Terus aku harus gimanaaaa?"

"Pilihnya lain kali aja, aku mau pulang."

"Loh kok gitu? Ya udah yuk aku bantu pilihin."

Aku menggeleng, "Nanti aja, gak ada yang bagus juga disini."

"Kok ngomongnya gitu?"

" ... "

"Ya udah, ayo pulang."

Sepanjang perjalanan aku mikir. Selama ini baru terasa juga kalau Bayu setuju terus dengan apa-apa yang aku bilang, yang aku mau, yang aku minta.

Maksudku, kadang aku berpikir bukannya hubungan itu dijalani dua orang, ya? Mana bisa terus-terusan didominasi oleh satu. Lama-lama nanti pasti jadi banyak salah ini itu. Aku sadar aku banyak mendominasi dibanding Bayu, namun Bayu juga gak pernah membicarakan soal itu. Seolah-olah itu bukan hal yang perlu dibicarakan karena dia selalu setuju dengan semua yang aku lakukan. Aku salah.

"Mau makan dulu?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Mau makan apa?"

"Terserah."

"Oke."

Aku keluar dari mobilnya setelah sampai disatu tempat makan kesukaannya.

"Aku lagi mau makan disini." katanya.

Seperti saat ini, saat ini ia punya pilihan. Namun kalau tadi aku bilang mauku dia pasti setuju sekalipun dia gak mau.

"Bayu,"

"Hm?"

Kami duduk bersampingan, ia menoleh sejak kupanggil barusan.

"Kamu kalo keberatan sama apa yang aku minta, kamu harusnya bilang. Jangan apa-apa aku terus."

Bayu tersenyum, lalu menjawab,

"Ngobrolnya nanti, ya. Makan dulu."

Sepulang dari tempat makan dan Bayu mengantarku pulang, aku gak langsung keluar dari mobilnya. Kami sudah sampai didepan rumahku malam itu.

"Kamu kenapa? Lagi mikirin apa?" tanyanya.

Aku diam dulu sebentar, lupa tadi mau bilang apa.

"Enggak, cuma ya kadang kepikiran aja. Kayak yang sepele, kalo aku gak bilang terserah dan milih tempat makan pasti kamu mau-mau aja padahal gak suka makanannya. Berapa kali kita kayak gitu? Kamu kok setuju-setuju aja kalo aku bilang apa aja?"

"Itu 'kan bukan apa-apa, Anya. Kayak anak SMA yang pacaran aja."

"Ya itu 'kan yang sepelenya, salah satunya. Kamu gak sadar atau emang sengaja, sih?" kutanya.

Dia kelihatan mikir, "Sadar, tap aku pikir emang kayak gitu seharusnya."

"Maksudnya?"

"Aku punya kesenangan sendiri setiap ngeiyain yang kamu mau. Serius, bukan karena depan kamu aku bilang gini. Lagian kalo kamu bingung, 'kan kadang sisanya aku urus sendiri. Kecuali kalo kamu ngerasa aku malah ngebiarin kamu bingung, berarti aku lagi mau ngikutin kamu aja. Gak ada yang keberatan, Anya. Gak ada yang bikin aku berat. Yang udah-udah biasanya aku ngomong kalau aku mau apa, kamu lupa, ya?"

Aku diam.

"Berarti sekarang ini aku lagi gak mau banyak minta. Udah itu aja. Aku pasti bilang kalo ada yang aku gak suka. Selama kenal kamu aku terus tau kamu luar dan dalamnya, jelas aku belajar gimana aku harus bersikap sebaiknya."

Menjadi BaikWhere stories live. Discover now