4. Persimpangan Waktu

410 157 7
                                    

Satu waktu sepertinya dia sudah gak sesibuk waktu itu, dia ajak aku pergi. Awalnya dia tanya aku mau kemana tapi kubilang terserah saja. Kau tau? Bayu adalah orang yang selalu punya jawaban. Seperti kalau kubilang terserah, dia gak bakal nanya lagi dan mengatur sisanya sendiri.

"Rambut kamu dari dulu gak pernah dipotong pendek, ya?" kutanya.

"Pernah."

"Kapan?"

"Dulu waktu awal-awal kuliah." jawabnya.

"Jepang indah, ya?"

"Indah, tapi gak enak."

"Kok gak enak?" kutanya.

"'Dulu temen-temenku tiap minggu kencan, aku enggak. Aku tiap minggu bingung mau telepon kamu atau enggak."

"Kenapa gak bilang dari dulu, sih?" tanyaku geram.

Sebab semakin dekat dengannya aku semakin tau bahwa banyak yang dia rasakan padaku tapi dia sembunyikan dari dulu. Alhasil aku gak pernah tau.

"Ya, kamunya judes gitu."

Kau mungkin berpikir Bayu itu kaku, buatku enggak. Dia unik. Dia memandang hidup dengan arah yang gak bisa kutebak. Sebab kalau kutebak a hari ini, besok belum tentu b, belom tentu juga c sampai z. Analoginya begitu. Dia baik dengan segala cara yang dia punya, aku merasa dihargai, aku merasa aman karena aku tau aku disayangi, aku merasa dilindungi.

Kau tau perasaan bahwa kau tau kalau kau bisa? Kau bisa saja menyangi dia.

Aku tau aku bisa saja menyukai Bayu, menyayangi Bayu. Aku tau aku bisa saja mencintai Bayu, bonusnya lagi sebab akan jadi mudah karena dia juga mau padaku.

"Bayu."

"Hm?"

"Kamu masih mau aku?" tanyaku.

"Masih, dari dulu juga."

"Dari dulu kapan?"

Aku mengenal Bayu lebih dari 10 taun sampai saat ini.

"Dulu waktu kamu bilang aku ketuaan."

Aku terkekeh, dia juga.

"Kenapa gak pernah bilang?"

"Aku tau kamu punya pacar waktu SMA. Waktu kamu SMP gak mungkin aku deketin anak SMP sedangkan aku mau kuliah. Waktu kamu kuliah juga aku tau kamu masih pacaran sama orang yang sama."

"Bilang doang 'kan gak bakal bikin aku putus. Seenggaknya aku tau-"

"Itu dia." katanya. "Aku tau kamu gak bakal putus jadi aku gak bilang."

Aku ketawa, dia jadi ikutan.

"Lama juga, ya." kataku.

Dia mengangguk, "Panjang. Aku kenal anaknya dari dia SD. Naksirnya mulai dia SMP, waktu dia SMA aku telat karena katanya dia udah pacaran, eh sampe dia kuliah aku masih harus nunggu."

Aku terkekeh, "Sekarang gak perlu nunggu."

Beberapa saat kami terlarut dalam hening, sampai akhirnya dia buka suara lagi.

"Aku gak bakal bisa gantiin dia." katanya.

Aku mengangguk, "Gak ada yang harus diganti."

Mendengar itu bola matanya seperti mendadak cerah, kemudian teduh pelan-pelan. Selama ini Bayu menaruh perasaan yang gak pernah kubaca. Semua rasa yang dia punya mirip buku-buku lama sementara aku adalah kelas tanpa bahasa.

Waktu kubilang aku tidak akan bisa mencintai Bayu seperti yang pernah kulakukan kepada seseorang di hari lalu. Itu karena kupikir aku harus mencintainya lebih dari bagaimana dia membuatku merasa layak untuk ditunggu selama itu.

Menjadi BaikWhere stories live. Discover now