prolog

177 69 24
                                    

"Udah sembilan bulan dia nggak ada kabar!" Ujarku, lebih kepada bergumam, karena... aku tahu akan seperti apa reaksi sahabat-sahabatku ketika aku kembali mengeluh atas masalah yang sama yang sudah pasti datang dari orang yang sama pula.

Bisa kulihat mata Anggun membulat sempurna. "Sembilan bulan? Orang hamil aja udah lahiran kalau sembilan bulan, Na, dan lo masih tunggu dia? Ayo lah, Na, ini bukan cerita novel yang membuat lo harus stuck di dia!"

Semua sahabatku mengangguk setuju, kecuali aku. Mana bisa semudah itu meninggalkan orang yang kita sayang, terlebih lagi hubungan yang kami bangun itu sudah bertahun-tahun lamanya. Ah, kuyakin siapa pun hanya akan sanggup di bibir saja.

"Nggak semudah itu, Anggun!" Aku berusaha menyampaikan suara hatiku.

Ado yang sedari tadi mengaduk bubur yang tak mau kumakan, beralih menatapku. "Oke, sekarang coba kita berpikir secara realistis." Ujar Ado serius. Aku juga tidak tahu sejak kapan ia bisa seserius ini. Padahal baru saja beberapa hari yang lalu ia ditinggal pacar-pacarnya karena ketahuan playboy-nya. "Dari zaman kita SMP kalian udah dekat, tapi nggak pernah pacaran, nggak pernah ada hubungan yang mengikat kalian, yang kayak begitu ngapain ditunggu sih?" Ado melempariku tatapan tidak terimanya. "Maksud gue, kalian ini nggak ada hubungan, jadi wajar aja kan kalau sekarang Panji udah sama yang lain, jadi gue rasa nggak ada gunanya lo tunggu dia tanpa kejelasan seperti ini!"

"Gue setuju sama Ado!" Timpal Saga. "Kalau nggak salah ini juga bukan kali pertama dia menghilang seperti ini kan? Dari dulu kan dia juga sering menghilang, Na!"

"Iya, gue tahu. Tapi pernah nggak sih, kalian suka dan sayang sama seseorang bahkan lebih dari rasa sayang kalian sama diri kalian sendiri?" Aku menatap Anggun, Jihan, Saga, Dion, dan Ado yang duduk mengelilingiku. Pagi tadi, tiba-tiba saja suhu tubuhku naik dan kepalaku terasa seberat batu, aku demam tinggi, karenanya siang ini mereka --sahabat-sahabatku-- mengunjungiku di apartemen. Oh iya, ada dua lagi yang  tidak bisa datang; Nia dan Akbar. Ah, aku yakin mereka pasti sibuk pacaran.

"Nggak pernah kan?" Tanyaku lagi. "Aku sayang sama dia dan seharusnya kalian tahu kalau melupakan itu nggak semudah menyayangi!" Oke, sekarang memang tidak ada yang memancing perdebatan, tapi tanpa bisa kucegah air mataku berderai begitu saja. Mengingat bagaimana dia yang begitu kusayangi, mengingat bagaimana ia selalu sabar menghadapi aku yang keras kepala dan tidak pernah mau mengalah, pun aku dengan pikiran labilku yang jarang terkendali. Mungkin itu sebabnya dia pergi. Sebab, hidup ini akan selalu ada titik jenuh untuk ditemui kan?

"Na, mungkin kita semua memang nggak akan pernah mengerti sama perasaan lo, tapi lo tahu persis, Na, kalau yang sayang sama lo itu bukan hanya dia, tapi kita juga sayang sama lo, plis jangan buat diri lo seperti ini, seolah-olah terpuruk dan nggak punya tempat bersandar padahal di saat yang bersamaan lo yang paling paham bahwa cinta yang menyakitkan itu artinya nggak sehat!" Dion yang sedari tadi hanya diam, kini mengambil alih pembicaraan.

"Kalau lo terus-terusan seperti ini, jadinya kita juga ikut sakit kayak lo!" Jihan menatapku dengan kesedihan.

"Kita sayang sama lo!" Ujar Anggun. Setelahnya, ia memelukku, yang berakhir dengan kami semua berpelukan. Setidaknya, ini bisa menjadi alasan mengapa hari ini aku masih harus bersyukur.

☆☆☆

With love,
Mandahuuu

GHOSTINGNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ