4. mungkin ada rahasia

66 52 15
                                    

"Selamat pagi, Nona cantik!"

Oke, apa ada orang yang tidak merasa jengkel ketika harinya kembali direcoki? Dan masalahnya, ini adalah hari minggu, tapi dia tak juga libur merecokiku, sepertinya kalender di apartemennya lupa mencetak angka merah di setiap minggunya, hingga tak pernah ada kata libur baginya.

Aku yang sedang berjalan menuju apartemen setelah lari pagi seperti biasanya, tidak peduli padanya yang menyapaku dan berdiri di depan apartemennya. "Yakin nih, cowok ganteng kayak aku mau di cuekin aja?"

Aku tetap pada tujuanku. Kubuka pintu apartemen dan tepat sedetik sebelum aku masuk ke dalam, Farrel menarik tanganku. "Apaan sih?" Aku menggerutu.

"Pagi-pagi udah jutek aja!" Ia menyodoriku sepiring omelet yang entah dari mana asalnya. "Kamu pasti capek kan habis lari pagi? Nih, aku buatin kamu omelet, omelet keju buat kamu yang nggak suka sayur!"

Aku mengernyit heran. "Kamu... tahu dari mana aku nggak suka sayur!"

"Aku juga tahu kamu suka warna biru!" Farrel tersenyum lebar.

Aku menarik napas dalam. "Oke, terima kasih banyak untuk omeletnya, dan dari pada kamu bikin aku pusing mendingan kamu pulang sekarang."

"Na... tapi setelah semalam kamu cerita semuanya sama aku bukan berarti aku orang asing lagi bagi kamu kan?"

"Jangan kepedean, yang aku cerita ke kamu hanya sebagian kecil dari kenyataan yang ada, jadi jangan sok dekat!"

"Na, kasih tahu aku gimana caranya biar kita benar-benar dekat, biar antara aku dan kamu ada kita!"

"Kamu mikirnya kejauhan, bahkan cerita yang lama aja aku nggak tahu gimana penyelesaiannya, dan sekarang secara nggak langsung kamu mau aku jalin cerita baru lagi? Aku nggak ngerti jalan pikiran kamu!"

"Na, aku yang nggak ngerti sama kamu, setelah semalam kita ngobrol panjang lebar, aku kira kamu bakalan lebih bisa terima aku, sebenarnya kamu kenapa sih, kadang langsung bisa terima aku, kadang marah-marah seperti ini, apa salah menerima orang baru dalam hidup?!"

Aku tertegun ketika Farrel berkata demikian. Ia benar, pemikiranku masih selabil itu. Kadang bisa menerimanya dengan begitu mudah, kadang pula aku justru memarahinya tanpa sebab. Harus kuakui bahwa sejak Panji menghilang, emosiku memang tidak pernah stabil. Dan itu semua benar-benar ada di luar kendaliku.

"Farrel... maaf, aku nggak bermaksud--"

"Aku ngerti kalau kamu baru aja kehilangan, tapi percaya sama aku bahwa setiap yang hilang itu akan ditemukan, meski bukan dengan hal yang sama, tapi setidaknya yang baru itu tidak akan lebih buruk dari yang lalu."

Aku mengangguk lemah. "Masuk, Rel! Aku buatin teh ya?"

☆☆☆

"Rel... berhenti!" Untuk yang ke sekian kalinya aku meneriakinya agar berhenti memercikkan air kepadaku. "Farrel, jangan jail!!" Aku menggerutu.

Farrel terbahak sampai memegangi perutnya, tampaknya ia merasa begitu puas sudah menjailiku sejak tadi. "Jangan manyun-manyun, tambah cantik tahu!" Ia menarik pelan hidungku.

"Makanya kamunya diam aja, jangan banyak tingkah!" Kupukul pelan lengannya.

Ia tergelak. Kami berjalan bersisian, menyusuri kolam renang yang entah seberapa luas adanya. Sekarang, kami sedang berada di waterpark. Setelah pagi tadi aku seolah tersadar bahwa... mungkin tidak ada salahnya aku menerima kehadiran Farrel di hidupku. Setidaknya, aku harus mencoba untuk itu.

Sesekali, Farrel berenang di sampingku, membuatku kelimpungan untuk menyusulnya karena aku sendiri tidak bisa berenang. "Rel, naik!" Ujarku setelah beberapa saat.

GHOSTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang