10. sisi kemanusiaan

28 22 6
                                    

Dengan ponsel Farrel yang terus bergetar di dalam genggamanku. Aku berdiri di depan pintu kamar mandi yang Farrel masuki. Menunggunya keluar, lantas menjawab panggilan dari Audrea-nya. Istilah sederhananya, ini luka yang tak berdarah.

Aku mematung ketika pintu kamar mandi terbuka. Tanganku ikut bergetar mengikuti ponsel Farrel yang belum mau diam. "Nona? Kamu kenapa?" Farrel menghampiriku yang beberapa detik hanya mampu memandanginya dengan gerak gerik penuh tanda tanya yang ia berikan.

Detik berikutnya, tanganku bergerak mengulur ke arahnya, "Audrea-mu!" Ujarku pelan lantas berlalu dari hadapannya setelah ia meraih ponselnya dari genggamanku. Entah bagaimana raut wajah Farrel saat ini, aku tidak tahu. Yang aku tahu aku harus melanjutkan menyiapkan spageti yang sudah setengah jadi. Sedangkan Farrel memilih melipir dari dekatku dan menjawab panggilan dari Audrea-nya.

Duh, aku bukan siapa-siapanya. Ayo, Nona. Ayo berpikir lebih realistis lagi. Mencintai dan dicintai itu hak siapa saja, jadi aku tidak boleh merasa seperti ini, perasaan aneh yang entah apa namanya. Tolong berpikir dengan logis, bahwa mau membuka hati beda artinya dengan seorang pacar. Jadi, di sini aku tidak punya hak apa pun atas dirinya, termasuk untuk cemburu. Sekali lagi aku tekankan, aku bukan siapa-siapa.

Aku terus bergumam dan menggerutu di dalam hati, hingga suara tergesa dan panik Farrel kembali menariku masuk ke dalam kenyataan. "Aku harus pergi, Rea butuh aku!" Aku tahu itu sebuah pernyataan yang tak butuh sahutan, apa lagi jawaban. Suaranya tegas dan... aku tidak berhak membantahnya.

Aku mengangguk. "Oke... tapi, spa--"

Farrel mengacungkan telunjuknya ke hadapan wajahku, aku tahu dia menyuruhku untuk diam, tanpa bantahan, dan tidak membahas apa pun selain mengizinkannya untuk pergi. Izin? Bukankah ia sedang tidak meminta izin untuk pergi kepadaku?

"Aku harus pergi. Rea butuh aku!" Ucapannya kali ini terdengar begitu lantang dan tegas di setiap katanya.

Akhirnya, aku mengangguk dan memilih mundur. Mungkin, Rea memang sedang sangat membutuhkannya. "Oke, hati-hati!"

Tanpa menunggu gerakanku selanjutnya, Farrel langsung melenggang untuk pergi. "Semoga Rea-mu baik-baik saja!" Gumamku ketika Farrel sudah benar-benar menghilang dari hadapanku.

☆☆☆

Aku menatap pantulan diriku pada cermin panjang yang kuletakkan di pojok kamar tidurku. Hari ini jadwal kuliahku penuh sampai sore padahal semenit pun aku sedang tidak ingin keluar dari apartemen dan berhadapan dengan dunia yang terlalu kejam. Lebih tepatnya, aku sedang tidak sanggup berhadapan dengan Farrel. Rasa cemburu kemarin karena jelas-jelas ia lebih mempriorotaskan Rea dari pada aku masih belum lenyap.

Setelah kejadian kemarin, sekarang aku sedang menerka-nerka. Apa mungkin yang salah di sini adalah aku sebab terlampau cepat menaruh harap? Atau, apa mungkin kesalahan itu letaknya pada Farrel yang belum sepenuhnya bisa mengendalikan perasaannya sendiri? Atau... di sini tidak ada yang melakukan kesalahan. Hanya saja takdir memang maunya selalu menang sendiri.

Hingga dering ponsel membuatku tersadar dari terkaan itu, aku meraih ponsel dan langsung mematikannya ketika melihat nama siapa yang tertera di layarnya. Maaf, Rel, bukan maksud aku mengabaikanmu. Tapi, hati ini butuh keyakinan agar tahunya jalannya melaju.

Ketika keluar dari apartemen, aku melangkah cepat karena kutahu Farrel mengikuti langkahku. Bahkan, hingga aku masuk ke dalam mobil, Farrel berdiri di depannya, membuatku berdecih karena tidak bisa melaju jika tidak ingin menabraknya.

Entah untuk yang ke berapa kali. Aku harus mengalah dengan makhluk Tuhan yang satu itu, "kenapa?" Tanyaku dengan intonasi yang kubuat sebiasa mungkin agar aku terlihat baik-baik saja, setidaknya aku harus terlihat demikian di depannya, walau hanya di depannya.

GHOSTINGDove le storie prendono vita. Scoprilo ora