11. too fast to go

21 12 3
                                    

Besoknya, aku terbangun karena sayup-sayup bisa kudengar kebisingan di dekatku. Ternyata, ada perawat yang datang untuk mengantarkan obat untuk Farrel sekaligus mengganti air infusnya yang sudah habis.

Begitu perawatnya keluar, cengiran Farrel langsung terbit bersamaan dengan matahari pagi. "Nyenyak banget tidurnya!" Ujarnya sembari berusaha meraih rambutku untuk dirapikan.

Dan detik itu juga aku menepis tangannya. "Bukan urusan kamu, nggak usah pegang-pegang!"

Tidak mau kalah begitu saja, tangan Farrel terayun untuk mencubit pipiku, membuatku kembali langsung menepis jarinya dan menatapnya sinis. "Udah selesai kan acara teman-temaninya, aku mau pulang!"

"Kamu nggak boleh ke mana-mana sebelum dengar penjelasan aku!" Ujar Farrel serius.

Mengerti dengan arah pembicaraannya, aku menetralkan napas, juga meredam amarah yang tidak boleh berkobar di sini, aku tidak ingin terlihat konyol hanya karena cemburu pada orang yang bukan milikku sama sekali. Aku tahu, aku tidak berhak atas itu.

"Nggak ada yang perlu dijelasin kok!" Ujarku datar.

"Ada, aku nggak mau di antara kita ada salah paham!" Farrel tetap pada pendiriannya.

"Kita? Salah paham? Ngaco kamu kalau ngomong, bahkan di antara aku dan kamu aja nggak pernah ada kita, bagaimana caranya bisa salah paham?!" Tolong, Nona, jaga emosi kamu. Aku terus membisiki diri sendiri.

"Terserah kamu mau bilang apa! Yang harus kamu tahu bahwa aku sama Rea nggak pernah ada apa-apa!"

"Ya kalau ada apa-apa juga bukan urusan aku!" Aku mulai nyolot.

"Jelas ini urusan kamu!" Bahkan Farrel sudah tidak kelihatan sakit lagi jika sudah berdebat seperti ini.

"Kenapa jadi urusan aku?" Tanyaku tidak terima.

"Karena kamu cemburu!" Tembaknya tepat sasaran.

Aku memilih menghindar dengan memberinya tawa sumbang, "jangan sok tahu! Berhenti bersikap seolah kamu paling tahu tentang hidupku. Dan kalau pun aku harus cemburu, aku nggak punya hak untuk itu sama sekali!" Aku menatapnya jengah, "kita hanya sebatas tetangga kalau kamu lupa!"

"Ya sudah, kalau begitu ayo bikin kamu punya hak untuk itu!" Farrel menatapku serius, "dan kalau kita hanya sebatas tetangga, aku berani jamin kamu nggak akan ada di sini sekarang!"

Aku mengernyit, "maksud kamu?"

"Jadi pacarku agar kamu punya hak untuk cemburu dan aku bisa tahu batasan kalau lagi sama cewek lain!" Ujar Farrel serius, "agar hubungan kita nggak sebatas dua orang asing yang kebetulan tetanggaan!"

Lidahku kelu mendengarnya berkata demikian. Aku menggeleng pelan, bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana bentuk perasaanku sekarang ini. Entah sudah sepenuhnya milik Farrrel, atau justru beberapa keping masih mengapung-ngapung mencari keberadaan Panji yang diam-diam masih dirindukan hatiku. Hidup bisa saja terus berjalan, tapi tidak dengan perasaan yang tidak bisa berhenti begitu saja.

"Nona, aku minta maaf kalau memang kamu kecewa atas sikap aku sama Rea, tapi aku nggak pernah main-main sama seluruh ucapanku!" Farrel kembali dengan wajah seriusnya.

"Termasuk ucapan cinta sama aku?"

"Apa pun ucapanku!" Jawab Farrel mempertegas pernyataannya sebelumnya.

"Oke, apa yang mau kamu jelaskan tadi?"

Farrel menarik napas dalam, "pertama, soal nama Rea di kontak HP-ku. Jujur, itu Rea sendiri yang iseng buat tulis begitu, bukan karena dia milikku sama sekali. Kedua, soal aku pergi ketemu sama Rea waktu kita lagi masak spageti, itu karena Rea tabrak orang, kalau kamu ada posisi aku juga pasti kamu bakalan bantuin sahabat kamu yang lagi butuhin kamu kan? Dan ketiga, soal yang di pesta, itu pesta ulang tahun adiknya Rea, nggak mungkin aku nggak datang kan?"

GHOSTINGDonde viven las historias. Descúbrelo ahora