Part 12

60 52 1
                                    

Sesampai di sekolah, Hiro dihina, diejek, dan didorong sampai jatuh, tasnya direbut dan dikeluarkanlah semua isinya. Lalu, buku-bukunya disiram air oleh Caesar. Ia sangat marah, tapi Ia berusaha sabar dan menahan amarahnya. Karena itu, Ia langsung pergi membereskan tas dan buku-bukunya. Kemudian, kembali pulang ke rumahnya untuk meletakkan tasnya kembali dengan melemparkan tasnya ke jendela rumahnya yang terbuka.

Setelah itu, Ia bergegas lari menuju hutan yang terletak tak jauh dari halaman rumahnya untuk menenangkan diri. Hiro berjalan memasuki hutan yang lumayan gelap meski saat itu masih pagi hari, tapi seperti biasanya tak ada satupun orang di hutan itu selain dirinya. Suasana disana tenang cocok sekali untuk menghilang rasa penat difikirannya, hanya disertai pepohonan yang hijau dan suhu yang menyejukkan. Ia benar-benar ingin melihat tempat apa yang tersembunyi di ballik Holllow Forrest. Kini, Ia tidak peduli dengan mayat-mayat melayang yang muncul di tepi hutan kemarin malam. Ia harus melihat ada tempat apa lagi setelah Ia melewati hutan ini.

Ia pun terus berjalan dan berjalan. Langkah demi langkah Ia tempuh padahal Ia sendiri tidak tahu kemana dia akan pergi di hutan besar itu. Tiba-tiba dari balik batang pohon, Ia merasa dirinya diawasi dan diikuti oleh seseorang. Ia pun menoleh ke belakang dan melihat ada sosok berjubah hitam serta memakai tudung hitamnya dan mengenakan kepala tengkorak kambing. Di kepalanya juga terdapat tanduk seperti rusa melekat di bagian atas kepalanya.

Hiro langsung berlari pergi sekencang-kencangnya untuk keluar dari hutan. Setelah berlari cukup lama, Ia langsung menghentikan langkahnya, karena Ia melihat di salah satu dahan pohon itu terdapat sekitar tujuh tangan berusun ke atas memegangi batang pohon itu, seakan-akan tangan itu keluar dari balik batang pohon kayu tersebut padahal tidak ada seorang pun di batang pohon tersebut.

Tangan-tangan itu muncul semakin banyak disekitar pepohonan yang lain seakan-akan mereka menahan Hiro untuk keluar hutan, sehingga Hiro langsung berlari kembali menuju ke dalam hutan.

Tak lama kemudian, sekitar hutan yang Ia masuki semakin gelap dan berkabut. Ia pun menoleh ke kanan tapi tidak ada apa-apa dan ketika Ia menoleh ke kiri, betapa terkejutnya Ia saat melihat tiga sosok berjubah hitam dengan mata putih bersinar dengan mengenakan kepala tengkorak rusa di kepala mereka yang ditutupi juga oleh tudung hitam mereka itu berada tak jauh darinya. Salah satu dari antara mereka sedang mengambang melayang di udara. Sedangkan kedua diantara mereka menatap Hiro dengan tatapan menyeramkan.


Hiro langsung berbalik untuk pergi, tapi di belakangnya terdapat seorang gadis yang mengenakan gaun berambut panjang hampir menutupi wajahnya menatapnya dengan tatapan menyeringai. Ia merasa tubuhnya membeku dan tak bisa bergerak. Pandangannya juga tak bisa Ia alihkan dari sosok gadis menyeramkan itu.

Tiba-tiba muncullah Caesar dan teman-temannya di belakang Hiro sedang melihat bahwa bocah asia itu terpatung menatap tanah hutan yang kosong. Caesar pun diam-diam mendekati Hiro, dan memukul kepala bagian belakang Hiro hingga membuat anak itu pingsan seketika. Setelah itu, Caesar bersama kelompoknya menggeret Hiro masuk lebih dalam ke hutan di pagi hari iru. Dari kejauhan seekor kucing hitam dengan kedua mata kuning diam-diam mengikuti mereka masuk ke dalam hutan. Tak lama kemudian Hiro membuka matanya dan menemukan dirinya terikat di salah satu pohon. Caesar beserta teman-temannya langsung menghajar kepala Hiro. Lama kelamaan bocah itu hanya bisa mengerang menahan sakit.

"K-kenapa kau memukulku?" Tanya Hiro yang sudah babak belur.

"Mudah, karena aku tidak menyukaimu anak aneh."

"Kebetulan juga kau tak memiliki satu pun teman. Kau sendirian. Mereka akhirnya bosan dan akhirnya meninggalkanmu. Melihat teman-teman mu yang sudah pergi darisini untuk menyelesaikan urusan mereka, kurasa kita juga berbuat semau kita."

"Aku juga memukulmu, karena waktu itu kau menghajar kami. Kau berbeda dari anak yang lainnya. Tunjukkan sisi dari dirimu yang itu! Kami ingin melihatnya!"

"Aku tidak mengerti apa maksud kalian."

"Jangan pura pura tidak tahu! Kau pasti hanya pura-pura mengalah, kan?"

"Kau akan menyesal." Kata Hiro

"Kau hanya membuat ini semakin menyakitkan." Kata Caesar sambil mengeluarkan pisau lipatnya dan menggambar sebuah pentagram kecil di perut Hiro yang langsung meringis kesakitan. Setelah itu Ia mengukir "Novus ordo seclorum." di bawah gambar pentagramnya. 

Bajingan! Sampai kapan aku harus bersabar karena tua bangka itu?  Kalau begini caranya aku bisa mati.

Sampai kapan kau menahan amarahmu, demi tidak disiksa kedua bajingan dari keluargamu?

Untuk apa aku ingin melindungi diriku dengan mendengarkan perkataan tua bangka itu? Aku hanya menghancurkan diriku sendiri.

Persetan dengan peraturan!

Mereka harus membayarnya! Siapapun itu, akan kubunuh! Akan kubunuh mereka semua!

Setelah itu, Caesar langsung memukul kepala Hiro lagi dengan tongkat baseball sampai Hiro langsung pingsan lagi.

Tiba-tiba pupil dan iris mata Hiro menghilang, digantikan dengan sclera di kedua matanya yang menjadikan wajah Hiro menyeramkan dengan kedua mata yang putih itu.

"Lihat apa yang telah kamu lakukan. Kamu mau melihat monster? Akan kutunjukkan kepadamu. Kamu akan berurusan dengan neraka yang kulepaskan." Kata Hiro dengan suara yang menyeramkan itu.

Hiro langsung menendang teman-teman Caesar yang berada di dekatnya dengan kakinya yang tidak terikat. Lalu, Ia menghantamkan kepalanya ke kepala Caesar sampai pingsan, bersamaan dengan Ia menjatuhkan pisaunya dengan cepat, Hiro menggeser talinya yang sudah longgar untuk mengambil pisau tersebut. Setelah itu Ia langsung memotong tali yang mengikat di tubuhnya. Beberapa diantara merela langsung memukuli Hiro, tapi sebagian dari pukulan mereka tidak mengenainya dan beberapa dari pukulan mereka ridak mempan sama sekali. Ia mengambil sebuah batu bata yang tergeletak disana dan memukulkannya kepada salah satu dari mereka. Kemudian, Hiro memasukkan batu bata tersebut sampai menembus masuk ke punggung remaja itu. Beberapa dari mereka langsung terpatung tidak percaya melihat itu. Dan tak lama kemudian, Hiro langsung melemparkan pisau tersebut ke salah satu kepala anak buah Caesar sampai pisau tersebut menembus dan menancap ke kepala tengkorak remaja itu yang kemudian langsung ambruk seketika. Beberapa dari mereka lari ketakutan, sedikit dari mereka yang tetap tinggal dan melawan Hiro. Seketika itu, salah satu dari mereka mengayunkan tongkat baseballnya, Hiro langsung menangkapnya. Dan merebut tongkat tersebut. Hiro langsung memukulnya balik dengan tongkat baseball tersebut dan terus memukuli kepala anak tersebut sampai hancur sambil tertawa.

"Siapa yang harus kumutilasi selanjutnya, ya?" Kata Hiro

"Eenie." Dia menunjuk pada remaja terkapar yang sudah mati karena baru saja dibunuh dengan batu bata yang menembus masuk di punggungnya.

"Meenie." Ia menunjuk mata pada mayat seorang anak dengan pisau masih tertancap di kepalanya.

"Miney." Hiro menunjuk pada mayat seorang anak yang kepalanya sudah hancur.

"Mo."  Dia menunjuk kepada Caesar yang baru saja bangkit berdiri sambil membuka matanya dan terkejut melihat semuanya. Hiro langsung mendekati Caesar yang ketakutan dan mundur perlahan dari Hiro yang berjalan mendekatinya sambil membawa tongkat baseball berlumur darah.

Ketika jarak mereka sudah dekat, Hiro langsung mengayunkan tongkat ke kepala Caesar. Dengan cepat Caesar langsung menunduk menghindar dan mendorong tubuh Hiro sampai terjatuh berguling ke bawah bukit hutan itu hingga kepalanya menghantam salah satu batang pohon besar. Setelah melakukan itu Caesar langsung berlari sekencang-kencangnya pergi tanpa melihat ke belakang.

Beberapa jam pun berlalu, kini Ia terbangun di salah satu rumah dengan beberapa kayu yang menopangnya. Dan betapa terkejutnya Ia saat melihat dua orang gadis yang jaraknya lumayan dekat darinya sedang memandangnya. Salah satu dari mereka memakai topeng kelinci dan yang satunya lagi memakai topeng serigala sambil memiringkan kepalanya seakan-akan Ia penasaran dengan Hiro.

Setelah itu Hiro langsung bangkit berdiri dan berjalan ke arah sungai yang berada di depannya dengan ragu-ragu disertai dengan fikiran negatif membayangkan kalau mereka berdua akan menyerangnya atau membunuhnya. Hiro masih mengawasi mereka sambil membilas tubuhnya yang penuh dengan darah. Entah kenapa dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi tadi. Sedangkan kedua gadis bertopeng itu tetap diam di tempat mereka sambil terus memandangnya.

Tak lama kemudian, Ia mendengar suara piano sedang dimainkan. Hiro pun langsung pergi menuju rumah tua terbengkalai yang beberapa bagian isi rumahnya hancur. Suara itu semakin kmterasa keras saat Hiro mendekati dan mencari tahu asal suara itu, di bagian rumah tersebut. Suara itu berasal dari lantai atas. Ia berjalan menuju tangga dengan debu dan tanah. Beberapa bagian dinding rumah tersebut sudah terlepas.

Saat Ia baru saja menginjak anak tangga, suara piano itu langsung berhenti. Ia pun segera bergegas berlari ke atas, tapi tak menemukan seorang pun, Ia hanya menemukan sebuah piano tua. Hiro pun mencoba memainkan lagu dari piano yang Ia dengar tadi di piano tersebut. Hiro mulai menekan tuts-tuts yang ada dengan kedua jarinya.

Tak lama setelah lagu itu selesai, seekor gagak melesat terbang dari jendela terbuka dan hinggap di piano tersebut sehingga Hiro menghentikan permainannya.

Kraa! Kraa! Kraa! Kraa! Kraa!

“Apa kau sadar apa yang baru saja kau perbuat?” Tanya gagak itu.

“Apa menghajar mereka balik salah?” Tanya Hiro yang sebenarnya sudah berfikir bahwa dirinya mungkin sudah gila karena bicara pada gagak.

Kraa! Kraa!!

“Tidak, kau sudah membunuh tiga orang.”

“Ya! Berkatmu, kami bisa makan gratis!” Kata gagak lain yang menghampiri mereka.

“A-a-apa?! Tidak mungkin! Kalian membual!”

“Apa yang dikatakan kami selalu terjadi, dan kami tidak berbohong! Kau membunuh korban pertama dengan pisau yang kau lempar hingga menancap ke kepalanya, kau membunuh korban kedua dengan batu bata yang kau tancapkan hingga menembus ke paru-parunya, kau membunuh korban ketiga dengan menghancurkan kepalanya dengan tongkat baseball.”Kata gagak yang lain yang terbang menghampirinya.

“Kepribadian gandamu sungguh menarik.” Kata gagak lain lagi yang tiba-tiba bertengger di pundaknya.

“Aku tidak punya kepribadian ganda. Aku anak yang normal.”

“Seorang anak yang normal tidak akan bisa melihat makhluk lain yang seharusnya tidak bisa dilihat dan anak normal tidak berbicara dengan gagak. Seorang anak normal tidak akan bisa mendengar kami berbicara.” Kata salah satu gagak itu.

“Tapi teman-temanku? Bukannya mereka melihat sesuatu yang seharusnya mereka tdiak lihat.”

“Itu kemauanmu, kan? Ingin membuat mereka juga setidaknya melihat sekali apa yang kau lihat. Lagipula mereka bisa melihat makhluk itu, kalau makhluk itu sendiri ingin menunjukkan dirinya kepada mereka semua.” Kata gagak yang masih bertengger di pundaknya itu

“Bukan begitu, aku hanya ingin mereka percaya kepadaku.” Kata Hiro

“Manusia hanya akan percaya jika mereka melihat dengan mata dan kepala mereka sendiri karena mereka hanya ingin melihat apa yang mereka lihat, mereka hanya ingin dengar apa yang ingin merek dengar.” Kata salah satu dari mereka.

“Seperti orang tuamu, mereka hanya ingin melihat apa yang mereka lihat. Mereka pilih kasih kepadamu, kan? Mereka hanya ingin melihat anak pilihan mereka yang sukses dan melakukan apapun yang terlihat baik di hadapan mereka. Mudah bagi kakakmu untuk mendapatkan segalanya dengan mudah. Sedangkan terhadap dirimu, mereka selalu menutup mata mereka. Mau sebanyak apapun kebaikan, kesuksesan, dan keberhasilan yang berusaha keras kau dapatkan tak berguna di mata mereka. Mereka memperlakukanmu dengan sangat berbeda, bahkan kesalahan kecil pun mereka menyalahkanmu, membentakmu, memukulmu, menyiksamu seperti binatang.” Tambah gagak lainnya.

“Tidak, binatang saja masih diperlakukan lebih baik daripada dirinya. Dia diperlakukan seperti budak. Mereka terlalu buta untuk melihat hal-hal berharga disekitar mereka. Jangan salahkan dirimu atau kepribadian gandamu, tapi salahkan mereka yang membuatmu menjadi monster. Monster yang terbentuk dan bertambah kuat selama bertahun-tahun. Monster itu hanya perlu dibebaskan dari rantai yang selama ini kau tahan. Seharusnya kau lepaskan saja belenggu itu, agar kau merasa lega, bukan? Semuanya akan berakhir, penderitaan juga segera berakhir setelah kau melakukan keinginan terbesarmu.” Kata gagak itu.

“Sial! Aku sudah membunuh mereka? Polisi akan menangkapku, aku tidak mau berakhir dipenjara!”

“Tenang saja, kau tak akan berakhir di penjara. Mereka tak bisa menemukan tubuh dari mayat-mayat itu karena kami sudah memakannya sampai habis.” Kata salah satu gagak itu sambil terbang pergi disertai gagak lainnya yang langsung diikuti oleh Hiro.

“Bagaimana dengan barang buktinya?” Tanya Hiro sambil berjalan mengikuti mereka dan selalu mendongak ke atas untuk melihat gagak-gagak yang berbicara itu.

“Kami sudah menguburnya di suatu tempat di hutan ini yang mana tak ditemukan oleh para manusia itu.” Kata gagak itu sambil terbang dan hinggap pergi menuju ranting pohon demi pohon menuju ke tempat lainnya.

“Kau benar-benar anak yang malang, tapi sekaligus membuatku makin membenci pada kebusukan manusia. Suatu hari seperti hari-hari lainnya di akhir pecan, orang tuamu mengemis bantuan untuk memperbaiki salah satu produk mainan yang rusak, ditambah lagi mereka tidak mengerti cara kerja instruksinya. Akhirnya kau menerima untuk membantu mereka dengan senang hati, kan? Tanpa mengharapkan imbalan. Kau berusaha memperbaikinya sampai akhirnya mainan itu diperbaiki dan berjalan dengan lancar. Orangtuamu mendapatkan uang menggunakan jasa-jasamu, sedangkan kau tak mendapatkan apa-apa selain olokan, hinaan, diskriminasi, dan siksaan. Beberapa menit setelahnya mereka meneriakimu, dan memukulmu hanya karena kau tak sengaja menumpahkan air ke lantai. Sungguh ironis.” Kata gagak lainnya itu.

Setelah itu, Hiro memilih untuk terus berjalan di sekitar rumah tua terbengkalai yang lainnya disertai tanaman dan semak-semak liar yang tumbuh di sekitarnya, dan mendengarkan perbincangan dari gagak-gagak yang lainnya juga.

"Terimalah cincin sebagai lambang kesetiaan dan cinta saya padamu… Kalimat itu menggelikan sekali setiap mereka saling berkomitmen di depan altar. Saya tahu perilaku mereka. Saya melingkar di jari manis hanya sebagai formalitas belaka.” Kata gagak lainnya sambil terbang lebih cepat hingga membuat Hiro harus berlari mengejarnya hingga tibalah Ia di suatu makam luas yang besar. Ia kini menyadari bahwa setelah melewati hutan besar yang gelap itu, terdapat beberapa rumah terbengkalai beserta makam luas yang besar berada di sana. Hal yang membuatnya masih penasaran dengan kota itu adalah kastil keluarga Agravain.

“Dan, saya sudah memikirkannya, kemungkinan besar, aku akan melepaskan jiwaku dari jari manis para suami dan istri. Sebagian memang sudah saya lakukan. Lihatlah, keluarga mulai berantakan. Suami meninggalkan istri dan menggagahi  perempuan lain. Wanita mencari nyaman pada hati yang lain. Hilang kepercayaan, cemburu. Perselingkuhan. Saya yakin, kau pasti bisa menghitung seberapa banyak orang yang masih bersetia. Maka, ketika menerima tugas ini, saya merasa begitu dekat pada kesempurnaan. Saya merasa bahwa jiwa saya akan dikembalikan ke muasal. Tugas saya selesai. Saya tidak ingin lagi mengembara dari satu jari ke jari lain.” Kata gagak lainnya yang menyusul.

“Ketika burung itu mati, dan orang menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak biasa telah terjadi, pelan-pelan, mungkin pelan sekali, saya menyusup ke dalam jiwa mereka yang begitu rapuh, lalu membisikkan pesan panjang yang terangkum dalam kalimat pendek semacam ini. Pengkhianatan begitu dekat dengan cinta.” Kata salah satu gagak itu.

“Apa peduli saya pada kehidupan, sementara di luar diri saya begitu banyak yang seperti tidak saling peduli. Padahal saya memang dilahirkan untuk mengikat agar segala sesuatu itu bisa abadi. Kalau dulu, dalam diam, saya bicara panjang-panjang tapi, kini, saya merasa itu percuma saja. Orang-orang pada menulikan telinga dan membutakan mata.”

“Maka, baiklah. Dengan restu Dewa Kebinasaan saya siap menjalankan tugas sebagai jahanam untuk menuntaskan semua hasrat mereka. Saya tidak mau ada jiwa murni dan suci, atau kebaikan-kebaikan menyusup ke dalam jiwa saya, sebab setelah semua saya lalui, dan melihat bagaimana dicampak, saya merasa jauh lebih merdeka jika kelaknatan menyertai saya.”

“Sebelum Ia menyematkan saya pada kaki burung berbulu gelap itu, saya memandang ke langit dan berteriak nyaring sekali. Saya menyerapahi langit karena ia mencintai saya. Dan, saya sungguh mencintainya karena telah menyadarkan saya. Aku berkata : Wahai langit yang diberkahi dengan kebiadaban, serapahi saya dengan kelaknatan yang paling jahanam. Kirimlah kegelapan-kegelapan dalam diri saya. Sendengkan telingamu dan  janganlah berpaling dari permintaan saya. Biarkan saya berpesta pora agar yang mati kembali dibangkitkan. Yang hidup dilenyapkan. Wahaiiiiii penghuni langit, laut, tanah, bangunlah dari kegelapan. Bangunlah. Songsonglah jiwa saya, antar ke liang kubur sebab saya ingin merasakan lembab tanah.” Kata salah satu gagak itu sambil terbang ke atas.

“Setelah itu saya mendengar koor yang menyanyikan lagu rekuiem dari arah langit. Mendengar sangkakala ditiup dan harpa dipetik. Sungguh, sungguh, saya sungguh merasa terharu. Dada saya mencair. Lega sekali.”

“Kami adalah satu, tapi dalam rupa tiga roh. Roh Tuhan, Roh Malaikat, Roh Iblis.”

“Berhenti! Tunggu dulu.” Mereka saling menghardik, mengingatkan.

“Siapa peduli dengan nama itu?”

“Kalau begitu buat apa kita memikirkan nama?”

“Nama tidak lagi penting.”

“Betul juga. Tuhan, Malaikat, Iblis, pun tak masalah. Kami lantas tertawa ketika salah seorang menyebut nama-nama mereka. Itu mengingatkan kami pada kebiasaan kami yang sering menonton video porno.” Kata gagak lain sambil terkekeh. Hiro terus berjalan mengikuti mereka berjalan melewati nisan-nisan itu.

“Kami pun menjalankan tugas sebagai pembunuh suci. Kami saling berbisik mengutip ayat Kitab Suci, untuk meyakinkan bahwa yang kami hadapi hanyalah seorang yang tak punya kekuatan. Jangan berharap pada manusia, sebab ia tidak lebih dari embusan napas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?”

“Maka kami akan menjawab dengan lantang, tanpa beban. Kami sendiri tidak tahu bagaimana awalnya kami menganggap orang yang kami tenung sebagai daun. Ketika kami berusaha mencari hubungan sebab akibat antara manusia dan daun, kami anggap usaha kami hanyalah pekerjaan tolol, sia-sia, dan dungu. Kenapa harus dihubungkan? Apa begitu penting untuk kami selain membunuh yang adalah menjalankan tugas suci itu?” Kata yang lainnya sambil terbang menuju makam lain yang lebih besar.

“Bekali-kali kami meyakinkan diri bahwa kami adalah kumpulan cenayang yang genius. Kami bisa menjadi apa saja sebab kami adalah anak terbuang, yang tidak terhitung, dan oleh sejarah dilupakan. Mereka melupakan dan tidak menghitung kami sebagai anak Ibu Laut, karena dalam diri kami bersemayam Ibu Lilith.”

Hiro menengok ke belakangnya untuk memastikan tidak ada makjluk menyeramkan lagi. Untungnya, ketika dia berbalik, tidak ada apapun disana selain kabut dan nisan-nisan salib besar yang rupanya lumayan terawat itu.

“Wahai Ibu Lilith yang kami permuliakan dan melaknati, datanglah, bergabung bersama kami. Mari kita rayakan kemenangan, sebab namamu akan terangkat kembali. Karena, sesungguhnya, Ibu pantas mendapat singgasana, dimahkotai, dan memakai jubah kebesaran. Engkau layak menerima puja-puji, hormat, dan kuasa. Kudus, kuduslah engkau. Laknat, laknatlah engkau.” Kata salah satu dari mereka yang bertengger di atas nisan salib.

“Kami berjanji, padamu segala tunduk hormat akan diarahkan. Namamu akan diangkat dan dikenang sebagai yang pertama. Jerih payah akan dilunaskan dengan tercantumnya namamu dalam kitab-kitab yang selama ini kami anggap suci. “ Kata gagak lain menuju makam yang batu-batu nisannya lebih tak terawat itu.

“Engkau akan dimateraikan dengan darah, dimuliakan dengan kematian, ditahirkan dengan pengabdian, diangkat dengan rekuiem-rekuiem, dimegahkan dengan sangkakala, dipestakan dengan piala air mata. Sebelum kami melangkah, kiranya engkau menumpangkan tanganmu. Bisiklah keinginanmu yang mungkin luput dari pengetahuan kami. Tajamkan mulut kami setajam tombak algojo yang menikam lambung.” Kata salah satu dari mereka sambil bertengger di batu nisan yang lainnya itu.

“Setelah berkata demikian, kami merasa jiwa kami betul-betul bersih dan siap dipakai. Tak ada lagi ampunan, tak ada lagi kelunakan. Semua akan terjadi. Itu pasti. Ya, pasti.”

“Dalam dunia tak kasatmata, kami melangkah menuju rumah lelaki itu. Maka ketika masuklah kami melalui pintu depan, ia menangis bagai ketakutan. Istri dan anak-anaknya tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya istri dan anak-anaknya, tanpa sanak keluarga yang lain. Memang inilah yang kami inginkan sejak awal, bahwa kami menceraiberaikan agar ketika ia meregang nyawa tak seorang pun menyaksikan itu kecuali anggota keluarga inti. Karena, sudah kami susupkan kebencian dalam diri mereka.”

Ketika Hiro menyusul mereka sambil mendengarkan perbincangan seram, Ia mendapati bahwa makam lainnya lebih berkabut dan lebih luas daripada sebelumnya. Ditambah lagi dengan pepohonan yang sudah mati dan nisan-nisan kotor tua yang sudah tak terawat itu makin menambah suasana menakutkan.

“Kami melompat dengan gaya jaipong, ngikik, melototkan mata, menjulurkan lidah. Dan, pada puncaknya kami mengumpat dengan semua pembendaharaan kata serapah dan laknat yang dimiliki semua bangsa, suku, dan ras.”

“Ia berbaring di atas tempat tidur dengan tatapan hampa. Ia menerawang begitu jauh. Kami tahu, jiwanya sedang melihat kematiannya. Salah seorang dari kami memungut seekor cicak dan memasukkan cicak itu ke dalam mulut lelaki tak berdaya itu. Ia berontak, begitu salah seorang dari kami menyumbat hidungnya. Selanjutnya kami melakukan tugas kami masing-masing sebagaimana telah kami ceritakan.” Kata gagak itu sambil tertawa.

“Kenapa kalian membawaku ke makam?”

“Kami ingin menunjukkanmu sebuah tempat yang akan mewujudkan semua impianmu.” Kata gagak lainnya.

Apa mereka mau membunuhku dengan menguburku hidup-hidup dan memakan bangkaiku?

“Kurasa aku harus pulang sebelum Kenzo mencariku. Aku khawatir jika dia memberitahukan kebiasaanku yang suka  kabur dari rumah.” Kata Hiro sambil berlari pergi kembali dengan mencoba mengingat jalanan dan hutan yang baru saja Ia lewati.

The Cursed ChildWhere stories live. Discover now