Part 34

10 47 0
                                    

“Apa rencanamu yang lain, setelah berlatih pedang dan sihir gelap?” Tanya Hiro yang kini berada di kamarnya bersama Hector yang sibuk memutar-mutar buku.

“Masing-masing dari kita perlu mengumpulkan benda yang ingin kita lupakan di masa lalu untuk bagian dari ritual mengalahkan Dio.” Jawab Hector

“Baiklah, seharusnya itu tidak sulit.” Kata Hiro sambil memejamkan matanya dan mengingat-ngingat.

“Harus satu benda yang sudah kita lupakan, takuti, ataupun benda yang terus saja tidak bisa dilupakan.” Kata Hector lagi.

“Kurasa aku tahu benda apa itu.” Kata Hiro sambil pergi menuruni tangga, menuju ruang bawah tanah yang gelap. Ia pun mulai membongkar isi dari lusinan kardus yang ada di sana.

Selagi Hiro mencari benda yang dicari, Hector mematikan dan menghidupkan senter yang ada di sana. Hector yang mulai bosan memutar-mutar senter itu, tapi senter itu terlepas dari jari dan tangannya. Untungnya Hector berhasil menangkap senter yang hampir terjatuh itu.

“Ketemu!” Kata Hiro sambil mengangkat sebuah medali emas kecil.

“Uhmmm… bagaimana itu bisa disebut benda yang kumaksud?” Tanya Hector yang tak mengerti sambil mengubah ruang bawah tanah sekitarnya menjadi di tengah hutan yang dekat pantai.

“Medali ini adalah medali pertama yang kudapat. Aku memenangkannya saat masih kecil sekali. Aku tidak ingat aku umur berapa saat itu. Saat aku memenangkannya, aku merasa sangat senang, dan aku tak sabar memberitahukannya kepada orangtuaku. Aku pun menelepon ibuku untuk datang. Aku memaksanya untuk menjemputku di perlombaan. Aku menggunakan berbagai alasan agar membuat ibu datang. Akhirnya, dia pun meninggalkan pekerjaannya dan mengemudi ke tempat perlombaanku. Aku kira setelah melihat medali itu, ayah dan ibu akan bangga kepadaku. Aku pikir mereka juga akan menyayangiku sama seperti Kenzo, dan aku bahkan berharap mereka lebih menyayangiku daripada Kenzo.”

“Sayangnya, ibu tidak pernah datang. Dia mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan menuju tempatku. Dia harus dirawat di rumah sakit setelahnya. Ayahku marah besar kepadaku. Dia menyiksaku berkali-kali.”

“Ibumu hampir mati karena medali bodoh yang tak bernilai.”

“Itulah perkataan ayahku yang kuingat. Kalau sisanya, aku tak dapat mengingatnya. Aku hanya mengingat jeritan dan tangisanku sendiri saat itu. Saat minggu terakhir aku disiksa, aku hampir mati karena kehabisan darah. Dia memperlakukanku seperti budak kriminal terhina yang pernah ada. Di sekian kalinya aku pingsan. Aku melihat bayanganku sendiri. Dia sama sepertiku, namun wajahnya lebih menyeramkan. Dia malah tertawa dan seakan-akan menikmati rasa sakit itu. Tapi, di matanya… aku dapat melihat kebencian dan dendam. Entah kenapa, semenjak kejadian itu… aku membenci medali emas itu. Aku sangat membencinya, tapi aku tak bisa membuangnya. Bagian diriku yang lain mengatakan bahwa aku butuh sesuatu untuk mengingatkanku kenapa aku membenci kedua orangtuaku. Dia tidak ingin aku lupa betapa kejamnyamereka, dan bagaimana cara mereka enyiksaku selama ini.”

“Orang mengira depresi adalah kesedihan. Orang mengira depresi adalah menangis. Orang mengira depresi berpakaian hitam. Tapi orang salah. Depresi adalah perasaan mati rasa yang terus-menerus. Mati rasa terhadap emosi, mati rasa terhadap emosi, mati rasa terhadap kehidupan. Anda bangun di pagi hari hanya untuk kembali ke tempat tidur lagi. Rasanya payah.” Kata Hiro sambil menyimpan medali emas itu disakunya.

“Tidak peduli seberapa buruk hal itu sekarang. Tidak peduli seberapa buntu perasaanmu. Tidak peduli berapa hari yang kamu habiskan untuk menangis. Tidak peduli berapa hari yang kamu habiskan untuk berharap segala sesuatunya berbeda. Tidak peduli betapa putus asa dan tertekannya perasaan kamu. Aku berjanji kita tidak akan merasa seperti ini selamanya. Kita harus terus membalas dendam. mereka pasti merasakan sakitnya.” Kata Hector

The Cursed ChildWhere stories live. Discover now