Dear Me 5. New Vanilla

16 5 4
                                    


Gadis dengan rambut coklat bergelombang itu memandangi wajahnya di depan sebuah cermin. Memastikan perawakanya sempurna sebelum melangkah keluar rumah, di hari pertamanya sebagai siswi SMU.

"Calm down. Hari ini lo bakal di puji sama satu sekolah. Nggak ada yang bakal bully lo lagi Nil." Ia mengangguk pasti. Menyambar ponsel dan tas dusty pinknya. Melangkah keluar dari kamar dengan kepercayaan diri penuh. Turun ke ruang makan keluarga.

"Selamat pagi semua~." Dengan senyuman yang manis ia menyapa keluarganya di meja makan.

Begitu bercahaya. Fano adik bungsu keluarga Geraldi cengo karena pesona kakaknya yang kini berbeda. Nugget yang ia kunyah sampai meluncur dari dalam mulutnya.

"Berdoa dulu Van." ucap Kaira ibunda yang menyerahkan sepiring nasi dan lauk kepada si gadis. Sang gadis yang terlihat seperti malaikat itu mulai memanjatkan doa.

"Dalam nama Yesus dan ungkapan syukur Vanilla telah berdoa. Amin ..."

"Ada yang bakal di kerumunin cowok satu sekolahan nih~. Lo beda banget." Goda Livia sang kakak tertua.

"Ah kak, jangan gitu. Aku cuman mau tampil beda buat diri aku sendiri aja."

"Cumen meu tampel bede eje." Fano manyun tanda mengejek. "Jangan sok anggun deh lo. Percuma cantik, tapi bego."

"Fano." Tegur kaira.

"Mulut lo minta disobek emang!" Mata Vanilla membesar.

"Udah. Bisa nggak tiap mau makan, dengan damai. Menikmati berkat Tuhan. Jangan saling cerca mulu, kalian menjauhkan berkat namanya." Kata bijak itu keluarga dari sang Ayah. Geraldi memang selalu mencoba bijak dan dengan kasih mendidik anak-anaknya.

Namun Fano dan Vanilla seperti dua musuh yang tak terpisahkan. Kata Fano, ia meragukan kalau Vanilla saudarinya. Karena dulu, dia ikutan di bully juga.

"Gitu dong Nil, coba aja kalo lo nyadar dari dulu lo itu cantik, dan lebih peduli sama diri lo. Lo bisa sepede sekarang. Dan nggak ada yang risak lagi." Livia memberikan semangat.

"Iya kak, justru karena aku pernah di bully, aku jadi lebih care sama diri aku. Coba aja yah, aku perawatan dari dulu. Pasti nggak ada yang coba nyakitin aku. "

"Cantik itu dari dalam, bukan cuman dari luar. Pantesan banyak yang bully, udah culun, nilai pas-pasan." Fano mendecih. Terlihat tak senang dengan kakaknya yang sudah mulai upgrade.

"Sewot aja lo bocah! Pasti lo bangga kan, punya kakak yang sekarang cantik." Vanilla manyun dengan kedua punggung tangan di bawah dagu. Sok cantik.

"Ogah! Ma, Pa Fano berangkat dulu yah. Bye!" Fano menarik tasnya dan pergi.

"Eh Fan, tungguin gue! Ma, Pa, kak. Aku pergi dulu yah." Vanilla meneguk segelas air dengan cepat, dan segera menyusul Fano, walaupun sarapannya belum dihabiskan.

"Hati-hati!" Pesan Kaira.

"Enjoy yah hari pertamanya Van!" Seru Livia.

"Sip!"

"Semoga, Vanilla boleh lebih nyaman dengan dirinya yang sekarang." Kaira tersenyum tipis.

"Tenang aja ma, Livia udah kasih banyak saran untuk Vanilla dan cara merawat diri luar dalam. Vanilla juga punya inner beauty. Liat dia udah anggun kan? Livi yakin, Vanilla pasti bisa jadi kayak Livi bahkan lebih."

"Tapi, kata Vanilla dia nggak minat jadi putri indonesia. Passion nya bukan disitu. Mama juga heran, padahal dia udah cantik sekarang."

"Jadi puteri indonesia bukan cuman modal cantik doang Ma. Tapi harus pinter dan taat sama Tuhan, attitude juga harus baik. Nilai c aja udah bikin papa bersyukur banget. Papa heran sama Vanilla. Dia beda banget sama kamu dan Fano. Papa juga takut negurnya. Papa nggak mau Nilla sakit hati." Keluh Geraldi.

"Proses semua orang beda Pah. Masalah belajar itu tergantung sama diri sendiri. Tapi menurut aku Vanilla udah mulai punya attitude yang bagus kok. Mungkin karna skarang Nilla udah cantik. Jadi kepribadianya juga udah mulai cantik. Semoga di kehidupan yang baru di SMA, dia bisa mulai ngerubah cara belajarnya juga." papar Livia.

"Vanilla udah janji dia bakal belajar rajin, dan nggak akan ngabisin waktu di makeup dan skincare-an aja. Dia juga udah mulai rajin ibadah dan pelayanan. Tinggal soal waktu, Vanilla jadi lebih baik." Kaira meyakinkan.

"Yasudahlah." Geraldi menghembuskan nafas pasrah. "Yang penting dia udah nggak ada yang bully lagi."


***

Vanilla membuka bb cushionnya untuk berkaca di dalam mobil. Fano yang mengendarai mobil menatap Vanilla sebentar.

"Belajar biar pinter, jangan cuman makeup, mo sampe kapan lo bego terus. Lo nggak sayang sama mama, papa yang habisin uang buat orang egois kayak lo?" ketus Fano.

Sejak dulu, Vanilla itu tidak terlalu mencuri perhatian dari keluarga besar mereka. Sampai pada kasus perisakan Vanilla yang dilakukan oleh teman-teman Smpnya. Vanilla mendapatkan perhatian penuh dari keluarga mereka. Saat ia mendapat kejuaran nasional pun, kedua orang tuanya tak terlalu peduli. Apalagi sejak Vanilla mulai merawat dirinya dan menjadi cantik.

Huh. Mama dan Papanya mensuport hal sia-sia itu dengan penuh. Vanilla itu cuman beban.

"Lo itu cuman beban nil."

Hatinya seketika sakit.

Vanilla menatap Fano dengan tatapan getir. "Apa gue nggak pantas bahagia?"

"Gue kayak gini biar kejadian yang dulu nggak bikin gue terusik lagi. Biar gue nggak di bully lagi. Biar orang nggak raguin kalo gue juga anaknya Papa, anaknya Papa Geraldi!" Seru Vanilla, dengan nada yang mulai bergetar.

"Bu, bukan itu maks-"

"Anak Smp kayak lo tau apa? Lo nggak pernah rasain jadi gue. Apa gue nggak bisa ngelakuin hal yang gue suka, dan nggak bikin hidup gue hopeless kayak dulu?"

"Lo tau sakitnya perasaan gue ada ditengah-tengah orang yang dipandang sempurna kayak lo, mama, papa dan kak livi? Kenapa sih lo sebenci ini sama gue? Lo sama aja ama mereka yang bully gue dulu. Sama-sama nggak punya perasaan!"

Fano terdiam, tak meresponi apa yang baru saja kakaknya katakan. Dia tau se-sensitif apa Vanilla, dan seberapa hancur kakaknya itu. Tidak mudah untuk membangun kembali tembok pertahanan dirinya. Namun, jelas ia masih membenci Vanilla.

"Gue di sini aja. Nggak bisa drop di depan sekolah!" putus Vanilla.

"Nil!" Cegat Fano sebelum Vanilla turun dari mobilnya.

"Apasih!"

"Lo nangis?"

"Peduli lo?"

Vanilla keluar. Walau ia merubah dirinya jadi cantik sekalipun. Ternyata masih ada yang tak menyukainya. Lalu ia harus apa?

Vanilla menepuk-nepuk pipinya. Mencoba menyadarkan diri.

"Ini awal yang baru. Lo nggak tau respon orang-orang sama lo. Jadi harus positif thinking!"

Menarik nafas, ia memandang pintu gerbang Merah Putih Highschool yang menjulang tinggi. Hidup barunya akan dimulai. Vanilla yang sekarang harus dikenal sebagai Vanilla yang cantik dan baik hati.

"Lo pasti bisa nil!"

***

Baru chapter 1 udah drama banget yah?

Dear MEWhere stories live. Discover now