Dua: Yang Tetap di Hati

4.5K 850 128
                                    

Karena, meski perasaan itu masih sama ... ada sekat tak kasat mata dan sisa rasa kecewa yang menghalangi kita untuk kembali bersama.

"San, buat profil mahasiswa web fakultas kita, gue mau lo wawancara Allano Kenta Ibrahim, anak manajemen bisnis semester empat."

Sana yang sedang mengunyah sebuah burger berukuran besar menatap Kevan dengan mata yang terbuka lebar. Perempuan itu lalu meminum sodanya sembari menelan sisa burger yang masih berada dalam mulut.

"Kev, waras lo? Lo tahu kan siapa Kenta? Maksud gue-"

"Justru itu, San. Gue denger-denger dia udah pegang bisnis keluarganya, ini bagus buat profil mahasiswa."

"Kev, parah lo, Kev. Masalahnya tuh, Allano itu kan anaknya jutek abis. Gue yang sejurusan sama dia aja nggak pernah ngobrol sama tu anak."

Kevan menyomot kentang goreng milik Sana, lalu memasukkan kentang itu ke dalam mulutnya. Matanya menatap Sana jenaka sambil menaik turunkan alis tebal yang membingkai wajah tegasnya.

"Lo pikir gue nggak tahu kalau lo suka sama Allan? Justru, ini kesempatan bagus buat lo, San. Lo kan anaknya ambis, masa gini aja nggak mau?"

"Gue bisa ambis dalam banyak hal, nggak soal cowok ya, Kev. Nggak usah ngaco deh."

Sana mengigiti bibirnya, mendadak gugup. Ia jadi teringat seseorang di masa lalu, yang membuatnya cukup hati-hati memilih pasangan, karena kenangan pahit itu. Bagi Sana, cukup sekali ia patah hati, rasanya tidak enak, dan Sana tidak ingin mengulanginya lagi. Makanya, meskipun ia menaruh rasa kagum pada Allan, Sana memilih untuk tidak bergerak mendekati Allan, entah jika suatu hari nanti keinginannya berubah.

"San, lo harus lawan semuanya. Lo pasti bisa bangkit dari masa lalu pahit lo."

Sana menelan ludahnya susah payah, mood-nya mendadak buruk. Kevan mengingatkannya pada kenangan yang tidak ingin ia ingat, tapi selalu berdiam diri di kepalanya, menghantui Sana sepanjang waktu. Kevan adalah sepupu dekat Sana, saudara sepersusuannya juga, jadi mereka memang dekat layaknya saudara kandung.

"Bisa nggak sih, Kev ... gue wawancara yang lain gitu?"

Kevan menggeleng sambil beranjak dari duduknya. "Nggak bisa, gue sebagai ketua Departemen Infokom udah diskusi sama Pak Wadek tiga kalau salah satu profil mahasiswa berprestasi bakal diisi sama Allan." Kevan mengambil jeda sejenak, "Dan lo, gue tugasin buat bikin Allan mau diwawancara. Paham?"

Sana mengembuskan napasnya berat. Mungkin tidak ada salahnya ia melakukan tugas yang diberikan Kevan. Toh, hanya sekadar wawancara ... apalagi, Kevan juga sudah banyak membantunya selama masa sulit, jadi Sana tidak ingin mengecewakan Kevan.

"Ya udah deh."

"Good girl. Nanti pulang bareng gue?" Kevan memberikan penawaran, saat ini Sana memang tinggal satu rumah dengan Kevan, setelah konflik panjang dengan papanya. Sana memutuskan untuk tinggal bersama keluarga Kevan yang ia pikir lebih kondusif daripada keadaan di rumahnya.

"Nggak, gue mau ngemal dulu."

Dahi Kevan berkerut-kerut, sebelum ia mengembuskan napasnya kasar. "Mood lo kacau lagi?"

"Ya, gitu ... gue nggak papa kok, tenang."

"Gue temenin?"

"Nggak!" kata Sana dengan cepat.

"Oke oke, tapi jangan malem-malem lo pulangnya."

"Iya, nggak usah bawel."

"Ya udah, gue cabut dulu."

DefensiWhere stories live. Discover now