Tiga: Tentang Allan yang Tidak Pernah Selesai

373 63 18
                                    

Bagi Seina, tentang Allano tidak akan pernah selesai. Meski sudah memutuskan untuk berpisah bertahun-tahun lalu, nyatanya ... perasaan itu tidak berubah, Allan masih memiliki dan mungkin akan selalu memiliki tempat yang istimewa dalam hatinya. Dipaksa melupakan seseorang oleh keadaan tidak pernah menjadi mudah untuk Seina. Setiap kali bertemu dengan Allan, ia harus menekan perasaannya dalam-dalam, meskipun dadanya hampir meledak karena rasa rindu, tapi Seina tahu, hubungannya dengan Allan sudah terlalu rusak untuk diperbaiki. Setiap kali mengingat Disha, Seina selalu dihantui rasa bersalah yang mampu membuat mood-nya berantakan.

Seina bukannya tidak pernah untuk memaksa dirinya berdamai dengan masa lalu, ia melakukannya dan berkali-kali gagal. Seina akhirnya menyerah untuk mengobati dirinya sendiri, ia lelah berkubang pada rasa bersalah yang tidak kunjung menemui selesai. Seina lelah dengan pikirannya yang selalu mengingat kata-kata terakhir yang dilontarkan oleh Disha, sebelum perempuan itu meninggal.

"Minum, tenangin diri dulu." Retta menyodorkan segelas air putih untuk Seina. Perempuan itu menangis terisak, sampai wajahnya memerah. Selalu seperti ini, jika ada sesuatu hal yang mengingatkan Seina pada Disha. Menderita karena rasa bersalah itu bukan hal yang mudah untuk diatasi.

"Gue jahat banget ya, Rett?"

Retta menggeleng, ia meletakkan gelas yang tadi dipegang seina ke atas nakas yang ada di sisi ranjang. Perempuan itu lalu memeluk Seina memberikan ketenangan. Retta adalah satu-satunya orang yang tahu, bagaimana hancurnya Seina setiap kali ia mengingat tentang Disha. Bahkan, keluarganya pun tidak tahu. Seina akan mudah panik jika berurusan dengan rasa bersalahnya. Bertahun-tahun, Seina menelan semuanya seorang diri, tenggelam dalam rasa penyesalan yang tak kunjung selesai.

"Itu bukan salah lo, Sei. Semua udah takdir, bukan salah lo kalau Disha meninggal hari itu."

"Dia kecewa sama gue, gue yang bikin Disha kecelakaan."

"Nggak, itu takdir, Disha korban tabrak lari, dan lo nggak harus bertanggung jawab atas kematiannya."

Retta menyeka air mata yang membasahi pipi Seina. Perempuan ini tampak begitu menderita karena rasa bersalah, bahkan ia pun harus mengorbankan perasaannya sendiri karena rasa bersalah yang terus menghantui. Seumur hidup, Seina tidak pernah merasa semenderita ini, pun saat ayahnya pergi untuk selamanya. Seina bisa mengikhlaskannya dan menganggap itu semua adalah takdir. Tapi, saat Disha pergi dengan membawa rasa benci padanya, Seina merasa hidupnya telah berantakan.

"Udah, jangan nangis. Kita kan ke Lembang mau liburan, mending yuk siap-siap. Kita cari makan dulu, gue bosen sama makanan hotel. Sekalian lo nge-vlog."

"Lo yang nyetir ya?" Seina memaksakan senyumnya, meskipun akhirnya kelihatan aneh.

"Iye iye, Nona Seina. Hayuk atuh, buruan cuci muka!" pungkas Retta sebelum ia beranjak dari atas Kasur dan berjalan ke kamar mandi, membiarkan Seina sedikit tenang lebih dulu.

***

Allano menghabiskan sisa tegukan terakhir kopi miliknya. Laki-laki itu sedang berada di kafetaria kampus bersama Davin—teman satu angkatannya. Allano tidak memiliki banyak teman, karena kesibukan kuliah dan bekerja menggantikan kedua orang tuanya, mengurusi bisnis keluarga, laki-laki itu bahkan tidak sempat untuk sekadar berhura-hura dengan teman-teman sepantarannya.

Hidup Allano monoton, cenderung menyebalkan malah. Hari-harinya dihabiskan dengan belajar dan dipaksa paham oleh keadaan. Hidupnya berubah total semenjak kematian ibunya dan ayahnya yang masih ada dalam jeruji besi. Dalam sekejap mata, semua hal berubah, dan Allano dipaksa untuk menjalaninya, meski dengan berdarah-darah.

"Lo beneran nggak bisa ikut anak-anak ke Lembang?"

Allano menghela napasnya, ia menatap Davin dengan malas. Merasa lelah harus menjawab pertanyaan Davin berulang-ulang.

DefensiWhere stories live. Discover now