0.9

1.9K 246 19
                                    

“Mah, sarapannya apa?” pertanyaan yang terlontar dari Ella membuat kedua orang tuanya menoleh.

Ikut mengambil duduk di hadapan Elea, Ella sendiri sudah rapi memakai seragam sekolah, rambutnya sengaja dia gerai, dasi sudah terpasang rapi melilit leher. Rambut hitam kecoklatan miliknya ikut bergoyang seiringan Ella bergerak.

“Kamu udah sehat?” tanya Elea sembari meletakkan gelas kopi ke hadapan Raven. Ranella mengerutkan dahi; bingung. Membalikkan piring, Ella mengambil sepotong roti panggang, “Emang aku sakit?” seolah bingung, Ella balik bertanya.

Soalnya, Ella sama sekali tak merasa bahwa dirinya sedang tidak sehat. Tubuhnya baik-baik saja, kok. Mengoleskan selai coklat, Ella menatap kedua orang tuanya. Mereka berdua tampak mengerutkan dahi.

“Kamu yakin baik-baik aja, nak?” kini, Raven mengungkapkan isi pikirannya.

“Papa mau Anel sakit, kah?”

Otomatis menggeleng, mana mungkin, Ella harus selalu sehat. Tapi ... Raven sedikit terpekur, mengapa setiap mengalami hal itu———Ella seolah-olah kehilangan ingatan? Seperti ada yang menghapus kejadian itu.

Sudah dari kecil Ella mengalaminya namun pasangan tersebut masih selalu bingung. Takut terjadi sesuatu pada Ella. Ketika mereka berkonsultasi dengan Dokter; rata-rata perkataan Dokter akan selalu sama. Anaknya tak mengalami penyakit serius atau berbahaya. Kemungkinan hanya otaknya sengaja menghapus ingatan buruknya.

“Kenapa, sih?” Ella bertanya lagi namun kini dia mendapat tepukan di atas kepalanya. “Nanti biar Papa anterkan.” Mengalihkan topik pembicaraan, Raven menatap Elea, menberikan kode agar tidak membahas kejadian kemarin malam. Biarlah Ranella tak mengingatnya. Bukan kenangan penting juga.

Menghabiskan beberapa menit, Ella dan Raven sudah berada di halaman. Keduanya sedang menunggu Elea; untuk berpamitan.

“Masa naik ini, sih!” protes Ella. Menatap horor sang Papa.

Raven mengedik, emang kenapa coba, sesekali mengantar anaknya menaiki mobil mewah, aneh, Ella sangat aneh. “Pa! Nanti aku di cap ani ani!” sambung Ella.

Sebenarnya tak masalah jika menaiki mobil mewah lain, tetapi kali ini benar-benar di luar nalar. Melihat mobil yang terparkir sekali lagi, Ella berusaha menahan diri dari menghitung berapa banyak uang yang harus keluar untuk membawa mobil tersebut ke tempat mereka.

“Supra doang,” celetuk Raven santai. Ella menepuk jidatnya, “Doang?! Doang dari mana?!”

Suara tawa pelan Elea terdengar, dia membawa tas milik suaminya, “Jangan ledek anaknya.” Menyerahkan tas kepada Raven. Elea mencium pipi Ella, “Nanti Mama jemput. Papa memang kurang ajar.” Canda Elea.

“Oh, ya, hampir lupa!” seakan mengingat sesuatu, Elea berbalik masuk lagi sesudah menyuruh keduanya menunggu. Tak berapa lama, Elea kembali, sekarang membawa sebuah totebag lalu menyerahkan pada Ella.

“Tolong kasih ke temen kamu, anaknya Sandra.”

Alis Ella mengerut, siapa pula anaknya Sandra? Ketika dia masih bingung, Raven meletakkan telapak tangannya ke atas kepala Ella, “Yang kemarin, masa kamu lupa?”

Ingatan Ella seketika berpindah, ingatan tentang wanita yang duduk di kursi roda, ahh, ingat keseluruhan cerita; Ella mengangguk patuh, menerima totebagnya. Berpamitan pada Elea. Keduanya segera memasuki mobil kemudian bergegas pergi.

Nemesis [Hiatus]Where stories live. Discover now