1.0

1.8K 198 23
                                    

Hari kembali berlanjut, seharian dia menghindari Adhisa serta Killian yang aneh sekali mulai mengikuti dirinya. Sedikit lelah menghindar, akhirnya hari ini Ella bisa menikmati ketenangan. Bangun pagi, membuka pintu balkon dan membiarkan angin sejuk menyambar kulitnya.

Berdiri seraya menyandarkan tubuhnya ke sandaran teralis balkon. Uap panas dari mug coklat panasnya menyebar, suara kicauan burung milik Raven pun terdengar, sangat damai dan tenang.

Berbalik menatap dalam kamar, matanya tertuju pada satu set baju untuk memanahnya lengkap dengan panah dan anak panah. Dari jauh-jauh hari sebelumnya, Raven berjanji akan menemani Ella memanah, sudah lama sekali dia tidak bermain dengan panah kesayangannya itu.

Senyum sumringah Ella semakin lebar sesaat melihat Raven sudah berdiri menunggunya seraya membawa tas anak panah, berlari kecil, menghampiri pria itu. “Udah siap, nak?” tanya Raven lembut. Ella mengangguk cepat, matanya beralih menatap Elea yang datang membawakan sekotak bekal serta kotak kecil tempat beberapa obat tersimpan.

Menerima pemberian Elea, beberapa pesan pun dia ikut terima, “Inget, jangan sampai terlalu lelah. Setengah jam sesudah makan, obatnya jangan lupa kamu minum, ya, sayang.”

“Mama tenang aja, Anel gak akan lupa.”

Kedua anak dan ayah tersebut melambaikan tangannya, memasuki mobil lalu pergi meninggalkan pekarangan rumah. Selama diperjalanan, Ella memiliki mood yang cukup baik, dia tersenyum dan sesekali bersenandung. Tampak dari wajahnya bersinar cerah, melirik sosok putrinya sesekali, tiba-tiba saja Raven merasa bersalah.

Bagaimana tidak, dia memang berjanji kepada putrinya untuk memanah bersama seraya menaiki kuda, hobi yang dimiliki Ella. Namun, mau tak mau Raven harus menyingkirkan janjinya, ternyata sudah lebih dulu Raven berjanji kepada teman-temannya untuk bermain golf bersama anak mereka masing-masing. Begitupun sahabatnya sudah menyetujui rencana tersebut.

Suka tak suka, Raven juga setuju walau dalam hatinya dia sudah siap mendapatkan amukan dari sang putri. Selama perjalanan menuju lapangan golf yang berjarak cukup jauh itu, Ella sudah mulai merasa aneh, berpikir jika Raven ingin mencari tempat memanah lain, tapi, sudah melewati beberapa tempat——mengapa mereka tak kunjung sampai? Hingga arah yang dituju sudah tidak Ella kenalin lagi.

“Ini mau kemana, sih?” tanya Ella. Raven memilih diam membisu, pura-pura fokus pada jalanan hingga bibir kecil Ella mulai membaca papan yang terpasang pada pintu utama lapangan golf.

Anak gadis itu terdiam dengan mulut menganga, kepalanya secara otomatis bergerak mengarah kepada Raven, tangannya mengepal. “Pa?!” ujarnya.

Raven berdehem singkat, masih pura-pura fokus mencari lahan parkir guna memarkir mobilnya. Tak butuh waktu lama, mobil yang Raven kendarai akhirnya berhenti, “Sayang, maafin Papa. Jadwal memanah kamu kita ubah dulu...,”

Tak bisa berkata-kata, Ella melotot, keluar dari mobil dengan mood yang sudah menyelam kedalam inti bumi, dia benar-benar kecewa, sudah senang akhirnya bisa bermain bersama para kuda seraya memanah, ternyata dia di khianati oleh Raven.

Sedangkan pria itu sedikit banyak paham akan kekecewaan sang putri, mau bagaimanapun, kali ini murni kesalahannya. Menipu sang anak.

Masih marah atas kelakuan Raven, Ella memilih untuk tetap diam; menggendong tas berisi anak panah serta panahnya, Ella berjalan memasuki bangunan utama, membiarkan Raven berjalan mendahuluinya. Pria yang menjabat sebagai ayah kandungnya itu cuman bisa pasrah, dia berjalan perlahan-lahan sembari mencari kehadiran para teman-temannya.

Nemesis [Hiatus]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن