\11\ Satu kebenaran

20K 1.2K 11
                                    

Selamat  membaca!💊


Sepanjang perjalanan menuju ruang istirahat, Arvin terus merutuki dirinya sendiri karena salah memberi jawaban pada Elina.

Sudah kepalang terlambat, akhirnya Arvin hanya bisa pasrah menerimanya. Sungguh, bukan itu yang sebenarnya ingin ia utarakan, tapi entah kenapa kalimat itulah yang keluar dari mulutnya. Arvin yakin,  jikalau Elina pasti akan curiga, terbukti dengan raut wajahnya tadi yang ia tampilkan.

Arvin menyandarkan tubuhnya ketembok dan mengacak-ngacak rambutnya frustasi. kepalanya pening memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi nantinya.

Arvin menghembuskan nafas untuk kesekian kalinya guna meredam rasa kesal, cemas dan juga gelisah yang membelenggu hatinya.

Saat tengah memejamkan matanya, tubuhnya terjengkit kaget saat seseorang menepuk pundaknya dari samping. Arvin menoleh dan yang pertama ia lihat adalah cengiran khas Luthfi.

"Apa?" Tanya Arvin malas, sungguh mood nya tidak bersahabat sekarang.

"Yaelah tuh muka kayak belum dicuci seminggu deh. Burem gue lihatnya" celetuk Luthfi sambil duduk disamping Arvin.

"Lagi nggak selera mau ngapa-ngapain gue"

"Kenapa lagi lo? Ada masalah? Ceritalah sini!"

Arvin menimbang-nimbang keputusannya untuk bercerita pada Luthfi atau tidak. Keuntungannnya dirinya bisa merasa sedikit lega dan kerugiannya adalah pasti Luthfi akan terus bertanya hingga keakarnya yang membuat Arvin pusing menjawabnya.

Langsung saja Arvin menggeleng karena kemungkinan terburuk bercerita pada Luthfi lebih mendominasi.

"Kapan-kapan deh" jawabnya yang membuat wajah Luthfi mendengus.

"Eh, sekarang kan lagi jam istirahat. Kenapa duduk-duduk gini sih? Ayo kekantin" ajak Luthfi sambil bangkit dari duduknya.

"Lo duluan aja deh, males gue" ujar Arvin sambil membenarkan posisi duduknya agar nyaman.

"Ck, lo kan baru sembuh. Masa iya mau sakit lagi gara-gara nggak mau makan. Ayo cepetan, kalo lo sakit siapa yang repot? Bukan gue tentunya" celoteh Luhtfi sambil menarik-narik lengan Arvin agar bangun.

Arvin mendengus kesal dan bangkit berdiri, " Iya-iya ayo cepet. Bawel amat sih lo" kesalnya yang dibalas kekehan oleh Luthfi karena berhasil menambah kekesalan pria itu.

"Sabar kali, gue kawinin juga lo biar nggak darah tinggi mulu" ujar Luthfi asal sambil merangkul Arvin.

"Lo duluan, gue ogah"

¤¤¤

Elina tengah berjalan dilorong rumah sakit untuk menuju ruangannya sehabis memeriksa semua pasien. Banyak yang menyapanya, meskipun Elina tidak mengenalnya namun ia balas dengan senyuman ramah seperti biasa.

Elina terus saja tersenyum sepanjang lorong pada orang-orang yang sempat berpapasan dengannya. Bahkan Fera yang berada dibelakangnya pun menggeleng takjub akan keramahan hati Elina.

"Fera, kamu boleh istirahat sekarang. Terimakasih sudah membawakan berkas-berkas pasien yang saya minta" ujar Elina saat dihadapan pintu masuk ruangannya.

"A-ah iya bu dokter. Sama-sama, saya permisi yah" jawab Fera.

Setelah itu, Elina masuk kedalam ruangannya yang disambut dengan kesunyian dan tumpukkan berkas-berkas disekitaran mejanya yang membuat Elina memijit kepalanya pening.

Karena didalam ruangannya dia pasti akan mati kebosanan, akhirnya dia memilih untuk pergi kekantin mengisi perutnya yang mengaung meminta diisi.

Namun, saat dipertengahan jalan dia mendengar suara orang menangis hingga membuat langkahnya refleks berhenti dan mulai mencari asal suara.

Eh, bu Dokter (TAMAT)Where stories live. Discover now