Bersamaku.

705 92 3
                                    

claertesquieu

Hai! Saya sedang berhasrat menulis cerita pendek klise dan menye-menye dan akhirnya terbitlah ini. Semoga tidak muntah, ya!

Balada sendu sajak nyanyian terlantun oleh bibir yang masih belum kering dari cumbuan penuh syahwat. Tubuh gayat merenggang-renggang di atas ranjang yang basah oleh peluh. Tangannya tergulir ke kanan, jemari meraba meja dan mengait setengah puntung yang mampir di bibir untuk kembali disesap dan menghembus asap yang segera menyeruak menambah sesak ruang yang tak beraturan.

Taeyong melirik, menatap sibuk jangkung badan bersalin baju dengan punggung yang disandarkan pada ranjang. "Kenapa buru-buru?"

"Tidak sepertimu, aku butuh bekerja untuk menyambung hidup."

Taeyong tergelak. Satu tangannya beralih di belakang kepala, masih menatap jangkung yang kini sudah rapi dan siap untuk melangkahkan kaki keluar. "Jadi intinya kau mengataiku pengangguran?"

Jangkung menoleh, senyum tipisnya terbit diiringi oleh lesung pipi tak samar sebagai penghias rupa. "Tidak," ia menggeleng. "Maksudku, tanpa bekerja pun hidupmu terjamin. Aku tidak terlahir dari keluarga bersendok emas sepertimu."

Decak kesal menjadi tanggapan tidak suka, mata yang memutar menjadi isyarat hati yang tidak terima. Setelahnya ia mendengus keras. "Jaehyun, sudah berapa kali aku bilang untuk berhenti memandang keluargaku? Aku tidak suka. Kau tahu sendiri aku tertarik padamu karena kau satu-satunya orang yang enggan menjadi lintah saat berhubungan denganku. Tetapi kenapa kau makin ke sini-" Hela napas panjang Taeyong tarik untuk menjeda kalimat. Bahunya turun dengan lutut yang didekatkan di dada. "Sudahlah, aku tidak ingin kita beradu mulut lagi."

Senyumnya kecil, tetapi Taeyong sudah terlalu hafal dengan raut muka sang pemilik dan cukup paham untuk tahu artinya jika sang pemilik mengungkap maaf secara tersirat. Rahangnya menegang, ia tahu jika kisahnya dengan Jaehyun tampaknya akan kandas dalam waktu dekat.

Dan dia tidak salah.

***

'Taeyong, sudah ibu bilang untuk berhenti berhubungan dengan kelas pekerja. Apalagi laki-laki. Di mana otakmu? Mau kau bawa ke mana kehormatan keluarga kita?!'

'Oh, aku akan membawanya mati bersamaku nanti. Tenang saja.'

'Lee Taeyong! Jika kau tetap keras kepala, ibu tidak akan segan-segan menghabisi nyawa Jung Jaehyun!'

'Habisi saja. Toh aku akan mengikuti setelahnya.'

***

Jaehyun tahu dia pengecut. Jaehyun tahu jika besar cintanya menahan ia untuk merengkuh lebih lembut. Dia pergi tanpa kata, meninggalkan durja dan luka menganga tepat di tengah kota. Setidaknya Taeyong akan tahu dia masih hidup, dengan begitu butanya cinta Taeyong pada dirinya akan menahan dia untuk mengakhiri napas dan bersemayam dengan sia-sia.

Harusnya, seharusnya Jaehyun tahu diri untuk menolak sejak awal. Bersatunya langit dan bumi tidak pernah berakhir baik, hanya menyisakan hancur yang segaknya dipermainkan waktu agar enggan hilang. Namun, apa daya hati jika semua sudah terlanjur bertaut kusut. Agaknya patah arang yang akan menjadi kanti di kala sepi.

Ia membiarkan jemari kaki dipermainkan ombak, membiarkan badan bawah dibasahi oleh asin air laut. Wajahnya ia dongak dengan mata terpejam. Biar panas sengat matahari menyapa kulit, ia tidak peduli. Ia ingin menyakiti untuk menyamarkan luka hati.

Alisnya bertaut ketika teduh memberi salam. Segera ia membuka mata, ingin memastikan apakah memang dunia bahkan tidak merestui dirinya yang ingin kabur sejenak dari buaian rasa sakit hati. Sayang, bukan awan yang ia tatap saat matanya terbuka. Melainkan asal dari segala pilu sedih kisah cintanya.

"Taeyong..."

"Sudah kubilang, kau akan selalu bersamaku."

fin.

Rhapsody || JaeYongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang