勋章

432 61 8
                                    

Hidupku sudah diambang perhinggaan marginal, masihkah kau mau mengulur tangan?

Hidup sudah kembang-kempis dengan perut yang meringis, buat apa kaki tetap berjalan di atas kering daun gugur musim dingin yang begitu jahat membelai dan mencubit kulit yang hanya ditutupi kain tipis. Kaki terkadang pincang, langkah kadang pelan, namun tidak jarang bergegas bagai dikejar anjing bajingan.

Baiknya tidak perlu menyalahkan anjing, karena di mata masyarakat, dia yang anjing. Anjing liar tanpa pemilik dengan liur tumpah mengotori bening jalan yang lebih berharga daripada hidup yang masih ia sungut. Biru lebam noktah menghias tubuh ringkih, kaki bergerak lebih cepat ketika sahut teriak menyambang telinga, memacu detak jantung yang bisa dibandingkan dengan kuda balap yang terpecut marah.

Ia harus segera pergi, atau dia akan ditangkap lagi.

Sudah puas dia berdiam dihajar oleh sipir yang memaki. Dia tidak ingin terjadi untuk kesekian kali.

Walakin, jika tangannya tidak mengambil apa yang bukan hak, lalu bagaimana cacing perutnya bisa terus bertahan dan berteriak?

Dia, hanya lapar.

Dia, butuh makan.

Kabur pandang tertutup helai rambut basah. Gerutuan manusia yang tersingkur badan memberi sumpah serapah. Tetapi layaknya kuping yang sudah tuli, dia enggan untuk peduli. Ia hanya mempercepat langkah, sesekali kepala menoleh mengintip, sudahkah jarak dengan para pemburu membuat nyawanya selamat untuk kesekian kali?

Terkadang, ia lupa untuk kembali menatap ke depan. Persis dengan apa yang saat ini dia lakukan. Hingga ringkih tubuhnya terpental, roti-roti yang ia kempit berhamburan, ia baru sadar jika dia tadi menyeberang jalan. Kepalanya pening begitu tubuhnya berdebum keras mencium panas aspal, matanya sayu, telinganya berdengung berisik. Ia bisa merasakan darahnya yang mengalir, mengubah aspal hitam menjadi merah yang mengundang jerit teriak yang saling bersahut.

Matanya ia tutup, pandangannya ia biarkan gelap. Mungkin memang saatnya ia harus beristirahat.

***

Ia pikir dia akan bangun dengan sambutan ikab yang memecut dan menghunus badannya yang sudah ringkih. Atau apapun balasan dari apa yang ia terima dulu di muka bumi. Nyatanya, dia masih di dunia yang bajingan. Masih menghirup udara dari selang yang terburai dengan dua lubang yang mengalirkan oksigen bagi paru-parunya untuk tetap bertahan.

Untuk apa?

Dia tidak ada gunanya. Dia hanya beban bagi siapa saja yang bersinggungan dengan sosoknya. Lagi, dia tidak akan mungkin bisa membayar. Kenapa tidak membiarkannya dia mati saja lalu memanen organ untuk disumbangkan, atau dijual juga tidak masalah. Toh, dia sudah tidak bernyawa.

Tetapi kenapa...

"Sudah bangun?"

Siapa orang bodoh yang berbicara kepadanya? Jelas dia telah membuka mata, kenapa masih ditanya jika dia sudah bangun apa belum?

"Saya sudah terlalu lama mencari Anda, Yang Mulia."

Yang Mulia? Yang Mulia pantat kuda? Bagaimana bisa dia dipanggil Yang Mulia? Sepanjang dia bisa mengingat, dia sudah tinggal di hiruk-pikuk berisik bocah-bocah yang berebut makan. Mana mungkin dia seorang bangsawan? Aneh-aneh saja. Dia yang kepalanya terbentur, kenapa malah orang lain yang tidak waras?

Mungkin kerutan wajah yang memar masih bisa menunjukkan apa yang ada di dalam pikir secara implisit. Orang dungu yang menungguinya menghela napas berat, lantas memberinya senyum tipis.

"Saya sama sekali tidak salah. Anda adalah Putra Mahkota Yang Mulia Lee Taeyong, yang beberapa belas tahun silam, sempat hilang."

Kali ini, Taeyong tertegun. Orang dungu tadi tahu namanya. Tetapi tetap saja tetap tidak masuk akal. Jika dia memang hilang, apalagi dia adalah seorang putra mahkota, bukankah harusnya keluarga kerajaan akan melakukan apapun untuk menemukannya? Atau, dia memang sengaja dibuang? Itu bukan hal yang tidak mungkin. Dia sudah terlalu kenyang dengan pahitnya hidup dan dinginnya jalan. Dia sama sekali tidak percaya orang.

"Jika Anda ragu, kami sudah melakukan tes DNA dan semua cocok dengan Baginda Raja dan Ibunda Ratu. Maafkan kami yang terlalu lama mencari Yang Mulia, penculik Yang Mulia merupakan orang culas, banyak sekali akal buruk yang digunakannya menipu. Beruntung, mobil kerajaan yang saya tumpangi tanpa sengaja menabrak Yang Mulia."

Beruntung tai! Aku sama sekali tidak bisa bergerak karena kau tabrak, dungu!

"Untuk hal itu, saya juga mohon ampunan kepada Yang Mulia. Jika Yang Mulia masih tidak berkenan, saya merelakan diri untuk dihukum, dipenggal pun saya tidak masalah."

Orang dungu! Siapa memenggal siapa?! Gila saja. Apa-apaan juga dia membungkuk sembilan puluh derajat, memang aku kakek buyutmu?!

"Kepala Pelayan Jung Jaehyun, dengan ini memohon Yang Mulia untuk memberikan saya hukuman yang setimpal."

Oh. Kepala Pelayan.

Tunggu? Bukankah itu artinya dia yang mengepalai semua pelayan istana beserta para pengawal?

Taeyong bergidik. Sudah dipastikan jika pria di depannya merupakan individu yang ahli bela diri.

Kali ini dia yang menghela napas. Sudah terlalu habis energi untuk berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Putra mahkota yang hilang, tertabrak kepala pelayan dan tanpa sengaja ditemukan. Alur klise apalagi yang dunia ini mau timpalkan kepada tulang-tulang lelahnya? Jika ini mimpi, kenapa rasa sakit tubuhnya masih begitu terasa? Jika bukan, kenapa semua ini terasa begitu konyol?

"Berdirilah,"

Serak suaranya terdengar, sepertinya sudah terlalu lama tenggorokannya istirahat. Ujung matanya melirik Jaehyun yang menegapkan badan, benar-benar sesuai dengan jabatannya bahwa benar dia seorang kepala pelayan.

"Aku...aku tidak tahu harus bagaimana," Taeyong memulai. "Jika memang semuanya sesuai katamu...bahwa aku...aku putra mahkota yang hilang..." rasa sakit yang sungguh sial, dia menjadi gagu dan terbata dalam bicara, sungguh tidak menyenangkan. "Maka aku akan memberikanmu hukuman."

"Kepala Pelayan yang rendah ini siap untuk menerima hukuman dari Yang Mulia Putra Mahkota Lee Taeyong."

"Aku menghukummu untuk...untuk menjadi pelayanku seumur hidup."

"Maaf?"

Matanya terpejam sejenak, sebetulnya Taeyong juga tidak paham kenapa dia bisa mengeluarkan kalimat yang, ia pikir sendiri, begitu bodoh. Habisnya dia tidak tahu dia harus bagaimana. Baiknya memanfaatkan Jaehyun saja. Toh, Taeyong terlalu lama hidup di jalan, dia tidak tahu bagaimana harus bersikap begitu dia kembali menginjakkan kaki di istana. Memiliki Jaehyun di sampingnya secara tidak langsung akan membantunya membangun etika. Taeyong sama sekali tidak melihatnya sebagai hal yang merugikan.

"Aku tidak ingin mengulangnya dua kali."

Kepalanya menunduk sejenak, senyum di pipi menghias membentuk lesung manis yang tertangkap lirik mata Taeyong yang enggan membuat kontak langsung antar mata ke mata. Satu telapak tangan menutup satu sisi dada, badan terbungkuk sedikit sebelum kemudian, Jaehyun berujar. "Kepala Pelayan Jung Jaehyun, dengan ini mendeklarasikan diri untuk melayani Putra Mahkota Lee Taeyong sepanjang hidup Yang Mulia."

Mendengar ini, pipi Taeyong memerah.

fin.

Rhapsody || JaeYongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang