BAB 23 || MENUNGGU UNTUK DIINTEROGASI

2.8K 240 13
                                    

Raissa menuruni tangga rumahnya dengan langkah teramat pelan. Takut jika suara hak sepatu pantofel yang ia kenakan saat menapak ubin tangga terdengar oleh orang rumah.

Pelan tapi pasti akhirnya ia berhasil sampai di anak tangga terakhir dengan aman dan tanpa menimbulkan suara langkah yang berlebih. Kondisi sekitar yang sepi membuat Raissa sesegera mungkin meninggalkan ruangan itu.

Tapi, suara yang tiba-tiba terdengar dari arah belakang membuktikan bahwa usahanya untuk berangkat kerja secara diam-diam berakhir sia-sia.

"Loh sudah mau berangkat, tidak sarapan dulu?" tanya Fauzia yang baru keluar dari ruang makan.

Raissa menoleh dengan perasaan gugup. Ia menarik dan menghela napas beberapa kali sebelum menghadap mamanya yang masih berdiri di sana.

"Sarapan kok, Ma." Raissa memaksa dirinya untuk tersenyum. "Tadi cuma mau nyimpan tas di mobil dulu," kilahnya.

Fauzia berjalan mendekat hendak menaiki tangga. "Biasanya juga tidak pernah menyimpan tas dulu baru sarapan. Simpan di kursi saja, terus kamu langsung sarapan. Mama mau ambilkan obat Papa dulu."

Raissa menggangguk kaku. Ia melakukan apa yang mamanya katakan dengan menyimpan tas di kursi tak jauh dari tangga kemudian berlalu masuk ke ruang makan.

Sebenarnya Raissa sedang tidak ada selera untuk sarapan. Dibanding rasa lapar, pagi ini ia lebih didominasi rasa takut untuk bertemu dan berbicara dengan kedua orang tuanya. Makanya, tadi ia sudah berniat untuk berangkat kerja lebih pagi. Sayangnya niat itu tidak terealisasikan karena lebih dulu ketahuan oleh Fauzia. Seharusnya jika ia ingin menghindari orang-orang rumah, ia bersiap sejak subuh tadi.

Raissa duduk di kursi meja makan dengan takut-takut di mana Azzam sudah sarapan lebih dulu.

"Pagi, Pa." Raissa menyapa Azzam seperti biasa. Sebisa mungkin tidak menunjukkan kegugupannya.

"Pagi, Sayang," jawab Azzam tersenyum hangat.

Ada sedikit kelegaan di benak Raissa. Sampai saat ini semua masih berjalan normal. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan ia akan mendapat amarah dari papanya.

Meski sedang tidak berselera untuk makan, Raissa tetap mengambil selembar roti dan mengolesinya dengan selai kacang. Ia sudah akan menggigit roti itu ketika Azzam kembali buka suara.

"Semalam lembur sampai jam berapa? Dan siapa yang nganter kamu pulang?" Pertanyaan Azzam kembali membuat Raissa menegang. Karena tangannya mulai bergetar, ia pun meletakkan roti yang hampir digigitnya itu di atas piring.

Inilah yang Raissa takutkan bertemu Azzam maupun Fauzia pagi ini. Ia tidak sempat memikirkan alasan yang cukup untuk diberitahukan kepada kedua orang tuanya.

"Iya, Sa. Semalam kamu pulang jam berapa?" Tiba-tiba Fauzia sudah bergabung di ruang makan membuat kegugupan Raissa bertambah dua kali lipat.

Raissa sudah menduga akan mendapat pertanyaan tersebut ketika ia melaporkan akan lembur bekerja. Tapi, ia tidak menduga sensasi ketegangannya bisa seperti ini. Lebih menegangkan dibandingkan interview saat hendak melamar pekerjaan.

"Jam sepuluh malam, Pa, Ma," jawab Raissa jujur. Ia tidak ingin menambah kebohongannya kepada Azzam dan Fauzia.

"Selarut itu? Diantar siapa?" Fauzia lagi-lagi bertanya.

Raissa menghela napas. Tiba-tiba kerongkongannya kering dan suaranya hilang entah ke mana. Untuk menetralkan kegugupannya, ia meraih gelas yang sudah terisi air dan meminumnya hingga tersisa setengah.

"Sebenarnya Raissa hanya lembur sampai jam delapan. Tapi, pas mau pulang tiba-tiba bosku dapat telepon dari rumah sakit. Sepupunya habis dirampok."

"Astagfirullah," respon Azzam dan Fauzia bersamaan. "Lalu gimana kondisinya?" tanya Fauzia.

CINTA MASA LALU (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang