Part 30

985 73 1
                                    

Tania menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku panjang yang dingin. Pagi-pagi sekali ia sudah bergegas menuju bandara Soekarno-Hatta bersama sang adik, membawa seluruh barangnya keluar dari penthouse. Jam baru menunjukkan pukul 6.30 pagi. Masih tersisa dua jam lagi sampai jadwal keberangkatannya tiba.

Ia bangun mendapati bahwa Kale sudah tidak lagi bersamanya setelah kejadian semalam. Mungkin laki-laki itu segera pulang setelah memastikan dirinya tertidur. Hatinya terasa sakit jika memorinya kembali ke beberapa jam yang lalu. Rasanya seolah ratusan tumbuhan berduri tengah tertanam dan bertumbuh di dalam tubuhnya. Jika saja apa yang Kale minta semalam bisa dengan mudahnya terjadi, mungkin ia akan baik-baik saja tanpa harus mengingat-ingat kembali. Sayangnya, Tania bukanlah sosok yang dapat mabuk dan melupakan segalanya di esok hari. Sebanyak apapun ia menenggak alkohol, ia selalu mengingat dengan jelas semua kejadian di malam sebelumnya. She'll never forget.

Memang pada awalnya ketika ia meminta Kale untuk menciumnya, terjadi secara spontan. Bibir mungilnya tanpa rasa bersalah menyuarakan bisik kecil di hatinya. Sejujurnya Tania tidak menyesal, justru ia merasa bahagia karena bisa menghabiskan malam dengan pria yang ia cintai itu. Ditambah lagi, mendengar pengakuan Kale padanya. Jika ia bisa memutar waktu, ia sangat ingin memutar pengakuan Kale  berkali-kali seumur hidupnya. Pengakuan Kale semalam yang mengatakan cintanya, menepis segala macam pikiran jelek, kecemasan dan ketidak percayaan diri dari dalam benak Tania.

Tapi semua kebahagiaan tidak selalu berjalan mulus.

Memori ini terlalu indah sehingga terasa menyedihkan, mengingat adanya realita diantara mereka yang terpaksa memisahkan kedua insan tersebut. Memori ini akan selamanya mengakar di pikiran Tania, yang secara tidak langsung akan selalu menyakitinya. Ia akan mengingat ini seumur hidup, maka seumur hidup pula kesedihan itu akan  menempel dihidupnya.

Tania menghela nafas panjang, mencoba melepaskan sedikit perih di hatinya.

Teesha yang baru saja kembali dari coffee booth di terminal 3, menghampiri kakak sulungnya kembali dan menyerahkan 1 gelas Triple Mocha Frappucinno favorit wanita berkulit sawo matang itu. Tania mendongak dan mengambil es kopi nya dari sang adik.

Teesha mengambil tempat di sebelah Tania, "I really don't understand you two," dengusnya.

"Both of you were in love, and yet you agreed to file a divorce. But last night, you spend the husband-and-wife-steamy-night together? Does love only a joke to you?" Lanjut Teesha heran sembari menyeruput pink drink-nya. Tania enggan menjawab. Ia lebih memilih diam dan membiarkan adiknya itu berkelana dengan pikirannya sendiri.

"What you did last night, really had me with the thought that you take this problem too easy. Kakak dan Kak Kale gak peduli apa yang akan terjadi setelah ini? Gak perlu pikirin Kak Kale deh. Tapi pikirin kakak sendiri. It will hurt you so much. How can you deal with the pain? Gak semudah itu menyingkirkan rasa  sakit di hati kakak. I know the feeling since i've through that now. Kakak gak akan bisa tidur dengan cukup. Kangen, sedih, menyesal, marah, semua bakal datang bersamaan. Semakin lama semakin parah. It will not goes away. Bukan maksud Teesha menakut-nakuti, but trust me...the pain will stay,"

Tania menumpukan kedua ujung sikunya di lutut, tersenyum miris.

"It's not easy. It's never been easy... Tapi justru karena semua ini gak akan mudah buat kakak hadapi kedepan, paling enggak kakak mau ambil reward terakhir kakak sebelum benar-benar pergi dari hidup Kale. Not exactly what I wanted, but it's enough,"

Shed Your Tears AwayWhere stories live. Discover now