20: Seandainya

71 17 1
                                    

Dulu, Aksa sempat berniat undur diri dari pekerjaannya lantaran anak-anak kantor yang kadang memandangnya sebelah mata, meski atasannya jelas memandangnya dengan baik. Secara usia, Aksa memang berada di bawah rata-rata usia karyawan kantornya, tapi jika ditilik dari sisi kedudukan dalam ranah perusahaan, Aksa berada satu tingkat di atas sebagian dari mereka. Di dalam divisi yang Aksa pimpin bahkan ada pegawai dengan usia 28 tahun.

Belakangan ini Aksa mulai bisa bekerja tanpa mendengarkan omongan orang tentang dirinya. Target Aksa bahkan meningkat, untuk bekerja lebih baik lagi dari hari ke hari. Semuanya menjadi demikian setelah momen di mana ia melihat Arunika menangis. Ada hal yang secara tak langsung gadis itu ajarkan kepada dirinya, tentang betapa banyak rasa terima kasih yang seharusnya ia panjatkan di setiap doa.

Rumah terasa sepi selagi Aksa turun ke lantai dasar untuk sekadar mengambil air minum. Ia lihat di meja dapur ada sayuran segar yang sudah dipotong-potong, pasti ulah Rania yang ingin membuat menu makan malam. "Rania ke mana?" lirih Aksa. "Apa ke halaman buat buang sampah?" sambungnya tatkala sadar bahwa tempat sampah yang biasanya ada di dekat wastafel kini raib.

Begitu Aksa ingin kembali ke kamar, ia dikejutkan dengan kehadiran Anya yang bergeming di ambang pintu dapur. Gadis itu terlihat membawa sekotak makanan.

"Sore, Aksa."

Aksa mengangguk singkat. "Sore," balasnya sambil berjalan menuju tangga untuk kembali ke kamarnya.

Rania dari belakang Anya hanya bisa menatap kepergian Abangnya dengan datar, lantas berjalan memasuki dapur dengan senyum formal kepada sosok gadis yang masih bergeming di sana.

"Tante sama Om lagi keluar, ya, Rania?" tanya Anya begitu Rania menyalakan keran untuk mencuci sayuran. "Tadi Kakak sempat ketemu Aksa, tapi dia langsung naik ke kamarnya."

"Ayah-Ibu lagi ke supermarket, Kak."

Anya meletakkan kue yang ia bawa di atas meja, kemudian duduk di kursi makan sambil melirik sekitar. "Rumah kalian selalu sepi, ya?"

"Nggak juga."

Anya pun bangkit dan menghampiri Rania di wastafel. Gadis berambut lurus itu menatap sayuran hijau yang sedang dibersihkan. Dua tangannya berada di balik pinggang, sedikit menepuk kain roknya untuk merapikan benda tersebut. "Mau masak apa?"

"Tumis biasa, Kak." Rania tersenyum simpul. "Mau bantu?"

Anya diam sejenak. "Bantu ngapain aja? Potong-potong tomat, ya?" tanyanya sambil mencuci tangan. "Kakak waktu kuliah di Belanda nggak pernah masak gini, sih, soalnya sering beli makanan. Kalau masak paling yang instan-instan aja."

Rania mengangguk paham. "Kakak umur dua puluh tiga, 'kan?" tanyanya basa-basi.

"Iya." Anya mencoba untuk memotong beberapa tomat. "Memang Aksa suka makan tumis sayur, ya?"

"Iya," jawab Rania seadanya.

"Makanya sekarang masak tumis?"

"Ayah sama Ibu juga suka banget."

"Ooh." Anya mengangguk singkat. "Aksa itu lumayan cuek, ya, Rania?"

"Nggak."

Anya menoleh bingung. "Tapi dari kemarin dia cuek banget. Oh iya, ini potongan tomatnya kekecilan, nggak?"

Rania melirik Anya. "Itu kebesaran, Kak, kecilin lagi aja. Terus soal Bang Aksa yang Kakak bilang cuek, itu perasaan Kakak aja, kali."

"Masa, sih? Terus kata Om Arkan, Aksa nggak pernah pacaran. Itu bener?"

"Nggak tau," balas Rania sambil membuka kulkas, padahal nyatanya Aksa memang belum pernah punya hubungan lebih dengan teman perempuannya.

Anya tersenyum kecil sambil mengambil satu tomat lagi. Dirinya mengingat wajah Aksa di pertemuan pertama mereka kemarin. "Rania?"

Senja untuk KamuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora