30: Berdua

91 17 0
                                    

"Hati-hati."

Arunika memeluk Wulan sekali lagi sebelum menerima tangan Aksa yang akan membawanya hanyut menjelajahi waktu. Sejenak ia lihat Raka tersenyum sebelum berbalik badan memasuki rumah.

"Raka cuma kurang rela kamu pergi. Udah, nggak apa-apa." Wulan tersenyum menenangkan Arunika.

"Ya udah, Aksa pamit, Bu. Janji, deh, kalau Nika bakal aman bareng Aksa," ucap Aksa tersenyum lebar setelah mencium tangan Wulan.

Wulan menepuk bahu Aksa sambil membuai tawa. Senyumnya terus terukir hingga Aksa dan Arunika pergi dari hadapannya. Wanita itu akhirnya tinggal sendirian di sana, menatap halaman sekitar yang sudah kembali seperti sediakala. Mata sedunya berkedip, baru beberapa detik Arunika pergi meninggalkannya, tapi rasanya sudah sesesak ini. Wulan tersenyum kecil guna meyakinkan dirinya bahwa Aksa bisa menjaga janjinya.

Kali kedua menyambangi pusara Rendra—Ayah kandung Arunika—rasanya tetap sama menyedihkan bagi Aksa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kali kedua menyambangi pusara Rendra—Ayah kandung Arunika—rasanya tetap sama menyedihkan bagi Aksa. Cowok itu mengusap bahu Arunika sebelum menggenggam tangannya, berusaha menenangkan hati perempuan itu dari lara yang menggurita.

Kicau burung menyambut Aksa dan Arunika di seluas pemakaman. Dinginnya angin membuat Arunika menyelipkan anak rambutnya di balik telinga. Alisnya melemah sedu di kala matanya mulai menemukan presensi makam sang Ayah.

"Tenang, ya." Aksa mengusap punggung tangan Arunika lembut hingga perempuan itu menoleh ke arahnya. Sedu di mata kecokelatan itu membuat genggaman tangan Aksa mengencang. "Aku di sini kalau kamu sedih ...."

Arunika mengusahakan satu senyum kecil untuk Aksa, lantas ikut andil dalam mempererat genggaman tangan mereka. Cowok itu benar-benar sering memegangnya sejak kemarin, berbeda dengan dulu ketika mereka masih dalam fase mengumpulkan mental berikut modal. Ketika mereka tiba di salah satu pusara, Arunika pun membawa Aksa bertekuk lutut hingga mereka berada dalam posisi berlutut. Sekeranjang bunga dan sebotol air yang Aksa bawa pada sebelah tangannya pun diletakkan di tanah.

Baik Arunika dan Aksa sama-sama terdiam, hanya menatap batu nisan diiringi dengan embusan angin. Namun akhirnya Arunika bergerak lebih dulu untuk mengusap nisan tersebut dengan tangan kanannya, perlahan dan hati-hati.

"Nika datang, Ayah ...."

Aksa menyendu, benar-benar sedu ketika suara lirih Arunika menyapa telinganya.

Senyuman sang Ayah membayang di ingatan Arunika. Wanita itu menggigit bibirnya perih, juga mengernyit untuk menahan rasa panas yang menjalar di sekitar matanya. Perlahan namun pasti, sesak yang tadi terasa samar kini terasa jelas memenuhi sebagian besar relung hati Arunika. Selalu seperti ini, ketika ia berkunjung ke pusara Ayahnya.

Akan ada banyak adegan yang seolah direka ulang dalam benak Arunika, dipertontonkan kepadanya hingga air matanya turun semakin deras. Rendra itu penuh sabar, penuh senyuman, ramah tamah pada siapa saja, menjadi sosok yang Arunika lihat sebagai lelaki kuat. Meski nyatanya, air mata lelaki itu akan turun dengan sendirinya ketika ia lihat anak perempuannya jatuh sakit, ketika ia lepaskan Arunika untuk mencoba bergaul dengan anak-anak seumurannya, ketika ia lihat Arunika kehilangan rasa percaya dirinya untuk bergaul dan memilih untuk bermain sendirian di luas halaman rumah mereka.

Senja untuk KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang