44: Jangan Pergi

27 3 0
                                    

"Assalamu'alaikum."

"Hm. Wa'alaikumussalam." Arunika tentu spontan tersenyum menyambut kedatangan Aksa. Saat ini, dirinya masih terbaring di ranjang rawat, yang jika dihitung sejak hari kelahiran Aruna Athalia, ini adalah hari ketiga. Namun sudah tiga hari pun, kondisi Arunika belum juga signifikan membaik. Perempuan itu terkadang masih membutuhkan bantuan tabung oksigen kala napasnya terasa sesak. Tiap sendi di tubuh Arunika pun masih sering dihantui rasa nyeri.

Kendati kemarin Arunika berhasil dalam cuci darahnya, soal lemas di tubuhnya tak banyak berkurang. Masih sama lemahnya hingga untuk berjalan ke kamar mandi pun ia harus menaiki kursi roda, terpaksa membangunkan Aksa jika ia ingin ke kamar mandi di tengah malam.

"Aksa ...."

Aksa tersenyum kecil sambil meletakkan ransel berisi pakaian di atas meja kecil yang ada di kamar rawat Arunika. Cowok itu bergegas ke kamar mandi untuk membasuh tangan. Beberapa saat kemudian, senyumnya terukir sambil menghampiri Arunika.

"Ada yang sakit?" tanya Aksa sambil menghalau sejumput rambut yang tadi rebah ke pelipisnya sendiri.

Arunika menggeleng pelan sembari menatap Aksa yang mulai duduk di sebelah ranjangnya.

"Jangan banyak pikiran, lho, kamu."

Arunika diam sejenak, kemudian tersenyum.

Aksa tertegun sebelum membawa tangan kanan Arunika menempel di pipinya untuk beberapa saat. Mata hitam lelaki itu terpejam erat, berusaha agar Arunika tak menemukan bakal air mata di sana. Batinnya lagi-lagi menyuarakan sebaris harapan, yang ia semogakan agar segera terwujud dalam waktu begitu dekat.

"Kamu udah sarapan?" tanya Arunika.

Aksa bersungguh-sungguh, suara Arunika terdengar lirih di telinganya. Pemuda itu diam sejenak sebelum membuka matanya. "Udah, kok. Tadi aku sarapan di luar bareng Raka."

Arunika terdiam. Jemari tangan kanannya berusaha balas menggenggam jemari Aksa. Sebisa mungkin, dirinya tampil lebih bertenaga untuk hari ini. Relung hatinya berdenyut mengingat hingga kini ia tak pernah lagi memasak sarapan Aksa. Padahal, ia ingin.

"Dokter Fadil udah masuk?" tanya Aksa.

Arunika tersadar dari lamunannya. "Belum, Aksa."

"Tumben agak telat."

"Mungkin lagi sibuk."

"Hm." Aksa bergumam singkat, lantas menoleh ke arah televisi yang menyala. Tumben Arunika menyalakan televisi. Mata Aksa berkedip memperhatikan tayangan terkini. "Oh, acara masak-masak?"

Arunika melepas genggaman Aksa untuk beralih menyisir rambut cowok itu dengan jari-jarinya. "Nanti siang ... kamu jenguk Athalia lagi?"

"Jenguk, dong." Aksa menatap Arunika. "Nanti sebelum Zuhur."

Arunika tersenyum kecil. "Boleh difoto, nggak, Athalia-nya? Aku ... pengin lihat dia juga, Aksa."

Aksa mengerjap, lantas tersenyum kecil. "Yakin cuma mau foto?"

Arunika mengangguk. Ia sadar, paham bahwa untuk masuk ke sepetak ruangan perawatan bayi tersebut harus memenuhi beberapa syarat. Hanya orang-orang tertentu yang boleh masuk. Hanya mereka yang sehat dan segar.

"Kalau kamu ikut terus ketemu langsung sama Athalia, gimana? Kamu mau?" tanya Aksa.

Arunika tertegun. Apa boleh?

Seakan paham akan isi hati Arunika, Aksa pun mengangguk yakin. "Nanti aku tanya dokter dulu, ya. Kalau dokter kasih izin, kita pergi bareng-bareng ke sana," jawab Aksa.

Senja untuk KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang