PD13: Hujan Pertama

37 5 0
                                    

Waktu makan malam sudah lewat berjam lalu. Tanjung belum juga pulang dari kerja lemburnya. Katanya, Tanjung akan pulang pukul 21.00, tapi sudah satu jam berlalu Tanjung belum juga terdengar mengucap salam. Namun, bukan itu. Bukan perkara itu yang dicemaskan Ayu dan Dana. Bukan masalah Tanjung terlambat pulang karena setengah jam lalu ia sudah mengabari bahwa pekerjaannya belum selesai. Lialah yang mereka cemaskan. Ayu dan Dana menunggu Lia yang belum juga pulang sejak pamit pergi sepulang sekolah. Sudah ditelepon berkali-kali, nomornya tidak aktif.

"Coba telepon lagi adikmu, Dana!" titah Ayu. Cemas kentara dalam nada suaranya.

Dana mengeluarkan telepon genggamnya. Operator yang langsung menjawabnya. "Masih belum aktif, Bu," lapor Dana. Dana juga tak dapat menyembunyikan kecemasannya. Betapa tidak, Lia tidak biasanya belum di rumah semalam ini. Ia malah jarang sekali keluar malam. Bisa dihitung jari. Sadar begitu, Dana berdiri.

"Mau pergi ke mana, Dana?"

"Mencari Lia, Bu."

"Ya, coba cari adikmu!"

Dana mengangguk. Ia bergegas.

"Assalamualaikum," Putra muncul dari balik pintu, tepat saat Dana hendak membukanya.

Dana menyingkir, memberi jalan untuk Putra masuk. Putra baru menapakkan langkah kedua saat Dana memanggilnya. Dana mendadak terpikir menanyakan keberadaan Lia pada Putra. "Lu liat Lia?"

"Lia? Sore tadi gue bareng dia."

"Kamu pergi dengan Lia?!" Pertanyaan dengan intonasi tinggi itu datang dari Ayu. Suaranya yang keras sontak membuat Putra dan Dana menolehnya.

"Ya, tadi sore," jawab Putra hati-hati.

"Kamu sudah ada di sini sebelum maghrib. Lalu di mana Lia? Kamu tinggalkan dia sendirian?"

Putra terdiam. Ia memang sudah sampai di rumah sebelum maghrib. Usai mandi dan berganti pakaian, Putra keluar lagi. Ia menunaikan maghrib, kemudian dilanjut isya di masjid dekat rumah. Putra mengira Lia pulang tak lama setelahnya sehingga ia membiarkan dirinya berlama-lama di masjid.

"Lia belum pulang?" Putra bertanya retoris, seakan ia akan mendengar jawaban berbeda.

"Kamu pikir apa artinya pertanyaan Dana itu jika Lia sudah pulang?" Ayu melotot tajam, urat-urat di wajah dan lehernya menegang.

Lia belum pulang? Di mana dia?

"Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Lia—Hei, aku belum selesai bericara!" Ayu menambahkan sebab Putra buru-buru meninggalkan ruang tamu. "Tak tahu sopan santun!"

"Bu, tenanglah. Dana dan Putra akan segera membawa Lia pulang. Semoga Lia baik-baik aja." Usai mencium tangan Ayu, Dana segera berlalu, mengejar Putra.

:::

Dari mana kita tahu perasaan ini cinta?

Lia menggeleng-gelengkan kepala, berusaha melenyapkan suara Putra yang terdengar begitu nyata, seperti Putra berada tepat di sampingnya, membisikkan pertanyaan itu. Sudah mencurahkan seluruh kegundahan hatinya kepada Yang Maha Mendengar, pertanyaan itu masih mengusik Lia. Belum sepenuhnya ia dapat menerima kenyataan ini.

"Lia?"

Langkah Lia terhenti, tepat di depan seorang laki-laki yang muncul dari belokan. Laki-laki, Alam itu menatap Lia dengan raut yang aneh. Bingung mendominasi, tapi ada sedikit amarah dan sedih menggurat di wajahnya yang tampan.

"Lu nangis? Kenapa?"

Lia menunduk, malu mata sembapnya dipersoalkan.

"Lia, siapa yang bikin lu nangis? Bilang sama gue! Biar gue kasih dia pelajaran." Kali ini, marah mendominasi air muka Alam. Ia begitu sebal melihat mata Lia yang memerah, seakan lupa jika dirinya sering membuat perempuan menangis patah hati akibat tabiatplayboy-nya. Ah, tapi itu masa lalu. Tabiat playboy Alam layu, lalu mati perlahan di hadapan gadis yang tengah ditatapnya ini.

Puisi DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang