PD7: Lelaki dari Masa Lalu

60 7 2
                                    

Bus memasuki terminal. Penumpang lain sudah berbaris, mengarah ke pintu depan bus. Putra baru bangkit, menggendong tas yang ia taruh di kursi sebelah, lalu mengeluarkan satu tas lagi yang ia taruh di bawah kursi. Tas itu Putra tenteng. Bergabunglah Putra dengan penumpang yang lain di barisan paling belakang.

Tepat ketika bus berhenti, kernet membuka pintu. Satu per satu penumpang meninggalkan bus. Putra tertahan dua detik di ambang pintu. Segera turun saat ia ingat tak ada ojek payung di kota ini. Setengah berlari, Putra menuju deretan warung dekat bus berhenti. Putra ambil bagian bersama orang-orang yang juga sedang berteduh.

Putra mengedarkan pandangan, melalui rintik hujan yang jatuh dari atap warung. Orang-orang di terminal tak pernah kalah oleh hujan. Di depan Putra, kernet-kernet bus berteriak memanggil-manggil calon penumpang. Suara mereka timbul di antara gemericik hujan. Satu-dua kernet membekali dirinya dengan payung. Mereka berlarian, menjemput calon penumpang yang tak berpayung, mengajak mereka naik ke busnya.

Tak kalah oleh kernet-kernet tangguh itu, pedagang asongan pun tak menciut oleh dingin yang dilesapkan hujan. Tanpa payung, mereka mengandalkan kantong kresek yang beralih fungsi menjadi topi. Menerjang hujan, naik turun dari satu bus ke bus yang lain. Sesekali, pedagang asongan berhenti di mulut pintu bus sebelum turun, bercakap-cakap dengan kernet. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas percakapan itu pasti seru sampai membuat mereka berderai tawa.

Suasana terminal ini nyaris sama dengan terminal yang beberapa jam lalu Putra tinggalkan. Tapi, jelas ini bukan terminal itu. Sudah beda kota. Ini bukan kota yang pernah Putra tinggali selama sebelas tahun. Bukan kota yang memiliki bocah-bocah penyewa jasa ojek payung, yang riang bukan kepalang setiap hujan turun. Bukan kota yang padat. Bukan kota yang dipenuhi pendatang. Bukan kota yang sangat terang setiap malam tiba. Bukan kota tempatnya melarikan diri. Sama sekali bukan. Ini kota yang pernah ia tinggali selama SMP sampai SMA.

Memang, banyak yang berubah dari kota ini. Terminal ini saja membuat Putra pangling. Dulu, warung-warung yang berjejer di sekitar terminal masih berdinding papan atau bambu. Mushola yang berdiri di pojok sana, kini lebih terawat. Mini market yang berdiri di sebelahnya, dulu jelas tak ada. Luas terminal ini pun bertambah, mungkin menyesuaikan dengan jumlah bus yang semakin banyak.

Putra terpekur. Lepas dari perubahan-perubahan itu, ini kota yang sama dengan yang Putra tinggali selama enam tahun. Di kota ini Putra mendapat kebahagiaan yang seutuhnya. Kebahagiaan masa remaja, kebersamaan dengan almarhum ibunya, serta persahabatan yang begitu berarti, terukir di kota ini. Meski masa tinggalnya di kota ini paling singkat, kota ini amat berbekas dalam benak Putra. Tetapi, di kota ini pula Putra mendapat luka yang belum mengering sampai saat ini. Luka yang membuatnya lari.

Kini Putra pulang. Meski kenangan kelam membayang di depannya sejak memutuskan untuk kembali, Putra telah menetapkan langkah. Kenangan kelam itu dikalahkan oleh kerinduannya akan kota ini. Betapa tidak, luka hanyalah sebagian kecil yang diberikan kota ini. Lagi pula, Putra telah bertekad untuk mendekap seluruh masa lalunya, betapa pun kelam. Tidak ada gunanya Putra terus memusuhi masa lalu. Masa itu tidak akan pernah lenyap, tidak akan pernah dapat dilupakan karena masa itu adalah bagian dari perjalanan hidupnya, bagian dari dirinya.

:::

“Putra Febrian?” laki-laki berusia empat puluhan yang berdiri di hadapannya bertanya dengan ekspresi yang aneh. Jika Putra tidak salah, dia membaca bentuk wajah seperti itu diperlihatkan ketika seseorang hendak menangis.

“Anda siapa?” Putra justru balik bertanya. Insting memberitahunya bahwa tamunya bukanlah orang jahat. Namun, ia merasa perlu mengetahui identitas orang itu lebih dulu sebelum ia mengaku sebagai Putra Febrian.

“Kamu Putra Febrian, kan, Nak?” tanyanya lagi.

Putra masih bergeming. Menajamkan tatapannya, ia mencoba mengamati pria itu dengan lebih detail. Menghubungkan sosok di hadapannya dengan seluruh memori yang ia miliki. Mungkin saja ia pernah bertemu pria itu dahulu, semasa kecilnya. Tetapi, tidak ada sepotong pun memori yang Putra miliki tentangnya. Tidak heran, Putra menuduh dirinya sendiri aneh sebab perasaannya seakan mengenali sorot mata tegas nan meneduhkan itu.

Puisi DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang