PD28: Puisi Damai

33 10 4
                                    

"Benar-benar pembuat masalah!"

"Ya, gue emang sumber masalah!" sahut Putra dengan nada suara tinggi. "Itu urusan gue! Lu marah? Gak suka? Gue gak peduli!"

"Oh, jadi begitu cara berpikir ibu lu."

Putra sontak berbalik, mendorong Dana dengan keras. Dana tersungkur di lantai. Untunglah ia tidak menabrak tumpukan kursi yang hanya beberapa jengkal dari tempatnya jatuh, sehingga Dana dengan mudah segera bangun.

"Ternyata, apa yang lu katakan dulu, anggapan tentang masa lalu hanya omong kosong! Lu sama aja dengan mereka yang gak pernah bisa menghargai perubahan."

"Gue berbicara tentang fakta!" Dana turut meninggikan suara.

"Yang terjadi di masa lalu bukan menjadi patokan penilaian gue. Gue lihat yang terjadi saat ini." Putra menerawang jauh, melihat percakapan bertahun silam. "Itu juga fakta ... yang membuktikan lu seorang munafik!"

Dengan satu gerakan cepat, Dana melayangkan tinjunya, menghantam tepat pelipis Putra. "Jaga bicara lu!"

Putra mengusap pelipisnya yang memerah. "Katakan itu pada diri lu sendiri! Lu yang gak punya tata krama dalam berbicara."

Dana meraih potongan kayu, siap menghantamkannya pada Putra. Putra kehilangan refleks untuk menghindar. Tapi, saat potongan kayu itu tinggal ditemukan dengan sasaran, Dana justru menjatuhkannya ke lantai hingga timbul bunyi berdebam keras. Beruntung, kewarasannya segera kembali sebelum ia hanya bisa menyesali perbuatannya.

Hujan belum berkurang derasnya, hanya ditinggalkan petir dan guntur. Dingin masih mengancam di antara angin yang mengembus. Air menggenang setinggi mata kaki di lapangan sekolah.  Tidak saling bicara, Dana dan Putra bersitatap dengan amarah memancar dari sorot mata masing-masing.

Lengang beberapa menit.

Sayup-sayup, melawan bunyi hujan, derap langkah terdengar mendekat. Langkah susul-menyusul dengan irama berbeda yang sudah pasti milik lebih dari satu orang. Mendekat. Mendekat. Sampai benar-benar dekat.

"Dana, lu di dalem?"

"Buka pintunya, Rid!" Putra meminta, mengenali suara yang bertanya. Pandangannya masih bertaut dengan Dana.

"Putra? Lu juga di dalem?" Ferid menghentikan sesaat kegiatannya mencari kunci.

"Cepat bukakan pintunya!"

Nada suara Putra membuat Ferid dan  Alam berpandangan, lalu menggeleng bersamaan. Begitu menemukan kunci yang dicari, Ferid buru-buru memasangkannya dengan gembok, ingin cepat-cepat mengetahui yang tengah terjadi di dalam gudang. Sekejap, pintu terbuka. Masih dengan wajah berbalut amarah, Putra melangkah keluar. Selang satu detik, Dana melangkahkan kaki. Namun, Ferid dan Alam kompak menghadangnya di ambang pintu.

"Kalian berantem lagi?" Ferid penasaran.

Dana menghalau Ferid dan Alam, lantas beranjak.

Putra tak tahu lagi ke mana ia harus menyembunyikan diri. Sepi semakin sulit dicari setelah pemberitaan mengenai keluarganya meramaikan sekolah. Maka, tak jauh-jauh ia berjalan. Berhenti tepat di tengah-tengah dinding gudang yang menghadap ke empang sekolah, ia duduk lesehan di atas lantai yang sudah basah. Atapnya yang tak melebar menyebabkan tampias mengenainya secara telak. Ia tak peduli. Tak mau peduli pada apa pun.

Kedua kakinya ia lipat di depan dada. Tangannya bersedekap di atas lututnya. Pandangannya menatap lurus ke tengah hujan. Namun, titik-titik air itu lepas dari penglihatannya. Ia menatap memorinya yang berlakon di depannya, melihat kembali bagaimana ia berseteru dengan Dana. Itu terlalu menyakitkan. Cepat-cepat Putra memejamkan matanya. Ia turunkan kepalanya, membiarkan keningnya bertumpu pada kedua tangannya yang bersedekap. Tetapi, dalam gelap sekalipun, ia masih dapat melihat dengan jelas memorinya.

Puisi DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang